Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perempuan Tambak Sungai Tahang (1)

3 Mei 2014   21:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sore itu baru saja hujan turun. Tanah pun terus membasah. Langit masih gelap. Petir sesekali datang menghampir. Suaranya cukup mengagetkan hingga ikan-ikan yang tidak seberapa ada di sebuah tambak sesekali berhamburan manakala suara petir menggelegar. Sehamparan mata memandang hanya hujan dan hujan di selebaran pertambakan. Beceknya sudah tidak terkata lagi. Mana licin karena semata hanya tanah merah yang liat. Jikapun berbatu, hanya sekedar untuk tempat kaki melangkah. Ah, tidak menyenangkan untuk berlari-lari kecil terburu-buru mencari tempat teduh.

Sepasang kaki bersepatu kets jinjit menuju sebuah gubuk di pinggir sebuah tambak. Setelah sampai, segera disandar tubuhnya yang lengket oleh baju yang kuyup. Pada sebuah dinding bilik, cukuplah ada tempat untuk menaruh tubuhnya sekedar mencari tempat aman. Terutama dari sambaran petir yang kesetanan.

Mata perempuan itu mulai mencari-cari tempat yang lain. Sekiranya gubuk itu ternyata tempat orang jahat dan durjana. Takutlah bagi seorang perempuan bila seorang diri di tempat tak dikenal. Tidak nyaman pula bila sekeliling tanah tempat menapak ternyata menjijikkan. Lumut terlalu banyak menutupi seluruh muka tanah. Andaikata pun cacing, lintah, tikus, kalajengking, kelabang, dan juga kodok, itu pasti ada. Perempuan itu hampir saja ingin segera beranjak pergi, namun tiba-tiba terdengar pintu berderit menunggu di buka.

Adakah pintu di gubuk ini ? Pertanyaan konyol tiba-tiba saja menghampiri. Perempuan itu tersenyum nakal. Menghina benar, batinnya sambil menahan gelak. Sekejap ditolehkan wajahnya ingin bertemu dengan pintu. Dan memang iya, pintu itu tidak terlihat, karena ia berdiri bertolak belakang dengan dinding yang berpintu. Oh ternyata ia berdiri di belakang rumah ?! Pantas saja, terdapat genangan air penuh sampah sisa makanan dan tidak jauh pula dari situ ada genangan air yang sangat menjijikkan ! Uff, tidak sanggup, baunya hampir meminta keluar semua isi perut……………….!

“Masuk ke dalam saja, neng,” suara seorang ibu terdengar dari dalam rumah.

“Terima kasih, bu, disini saja, sebentar lagi aku mau pergi lagi,” jawabnya dengan santun.

“Hujan masih lama, kalo hujan begini biasanya awet neng, masuk ke dalam, cuma ada saya seorang sendiri,” sang ibu kembali mengajak.

Pintu terdengar buka, sepasang kaki seret bakiak perlahan. Sebelum ibu itu melihat, perempuan itu ingin terlebih dahulu lihat. Dan ketika bertemu muka, sesosok perempuan yang sebenarnya tidak tua namun terlihat kurus dengan raut wajah lelah, si perempuan tidak pandai bicara apa lagi. Sementara si ibu tersenyum, manis sebenarnya, tapi getir rasanya.

“Ayo, neng, hujan bakal lama berhentinya, masuklah ke dalam, di luar tidak aman,” ibu itu rapuh menggapai tangan.

“Terima kasih bu, tapi………emang daerah ini tidak aman ?” perempuan itu mulai cemas.

“Saya hanya khawatir, apalagi eneng seperti bukan orang sini,” ibu itu mengernyitkan kening.

“Aku emang bukan orang sini, aku sedang cari berita, tapi pas mau pulang hujan,” si perempuan itu tergagap menerangkan, maksudnya sih tidak mau orang tahu siapa dirinya, yang mulanya ragu dikata akhirnya terkata juga.

“Oh, eneng wartawan ? Masuk sajalah dulu, biar tidak kedinginan di luar,” ibu itu mengajak masuk dan lalu membalikkan tubuhnya hendak kembali masuk ke dalam.

Aneh, perempuan itu malah ikut ibu itu. Tadinya nolak, sekarang malah turut/. Hatinya sendiri heran. Semudah itu berubah yang semula bersusah berkata tidak. Yaaa……sekedar menghangatkan badan, itulah yang menjadi penarik. Tidak mau kan sakit sementara jauh dari rumah. Dan dimasukilah rumah gubuk itu, ehm maaf, memang serupa gubuk. Rumah itu kecil, berbilik dan bergenteng seadanya.

Dalam rumah ada sebuah dipan kecil dengan kasur tipis yang bersprei lusuh hingga tidak jelas lagi warna dan coraknya. Di ujung, tadi tempat diri bersandar, ada sebuah bak hitam dan ember hitam juga, sebuah gayung, sabut untuk cuci piring dan sebungkus sabun colek. Ada juga kotak berisi sebuah sabun mandi yang telah mengecil dan sebuah sikat gigi yang sudah mekar.

Bersisian dengan itu ada meja kecil dan rak piring terbuat dari kayu. Isinya cuma dua buah piring, dua buah gelas beling kecil, dua buah sendok makan, dan sebuah mangkok. Di meja ada sebuah pisau ukuran sedang dan sebuah botol plastik berisi kecap. Lalu gentengnya tidak penuh menutup rumah. Ada beberapa bagian yang hanya ditutup lembaran plastik dan ada juga terpal bekas. Pintu itu juga tidak berkunci, hanya ada selot sekedar untuk merapatkan.

Karena tidak ada kursi, mereka berdua duduk di pinggir dipan. Jujur saja, rumah itu dalamnya bau tidak enak. Bukan pengap, namun demek. Bantal dan kasur juga seperti bau. Bukan demek, namun apek. Malangnya tidak bisa menutup hidup barang sebentar. Terpaksa sesekali dibuang nafas perlahan dari hidung, untuk bisa mengusir bau tidak enak. Beberapa lamapun sebisanya, ditambah udara dari luar (yang juga bau), menjadi biasa dihirup dengan leluasa.

“Eneng siapa namanya ?” ibu itu buka tanya.

“Kania,” jawab perempuan itu bersahaja.

“Nama yang cantik, secantik orangnya,” ibu mungkin maksud basa-basi.

“Kalau ibu siapa namanya ?” Kania ganti tanya.

“Ah malu nyebutnya,” ibu itu tampak tersipu.

“Setiap nama pasti bagus dan cantik, bu,” Kania upaya menyemangati.

“Nama saya Neti,” ibu itu makin tersipu. Kali ini terlihat lesung pipit di pipinya. Kania pun terpana, terbersit membanding apakah ibu itu atau dirinya yang cantik. Aduh Kania, kok sempat-sempatnya mikir begitu sih ? Batinnya bergolak lagi.

“Neng Kania wartawan ya ?” ibu itu bertanya ingin tahu.

“Kok ibu tahu ?” Kania tampak bodoh bertanya.

“Kan tadi waktu di luar eneng bilang lagi cari berita disini, kan berarti wartawan ya ?” ibu itu tersenyum.

“Oh iya benar, emang iya, aku wartawan, tapi wartawan freelance bu, maksudnya aku bukan wartawan surat kabar,” Kania coba nerangkan. “Tapi kok ibu tahu kalau orang yang mencari berita itu disebut wartawan ?” Kania tanya lagi mencoba tahu.

“Saya pernah lihat wartawan cari berita ke para juragan tambak, terus kalau ada kunjungan orang-orang gede pasti ada yang ikut moto-moto sambil nulis-nulis. Kata suami ibu, orang itu namanya wartawan,” ibu itu menerangkan panjang lebar membuat Kania ternganga, tidak nyangka.

“Eh iya, benar bu, memang begitu kerja wartawan,” Kania membenarkan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Oh iya, minum dulu ya, kebetulan saya sudah seduh teh panas, lumayan supaya anget,” ibu itu berdiri lalu jalan menuju meja.

“Eh, terima kasih bu, tidak usah repot-repot,” Kania ingin cegah tapi tidak ada usaha. Ya ngapain juga menolak ? Memang badannya kedinginan kok. Batinnya kali ini menggerutu.

Tidak berapa lama kemudian, dua gelas teh hangat sudah setengah diminum. Satu oleh Kania dan satu lagi oleh ibu itu. Kania inginnya menenggak habis tehnya, hanya saja rasa teh itu agak hambar, mungkin sudah berulang kali dimasak. Kania melihat ibu itu menuang teh dari sebuah teko alumunium yang ada di atas kompor. Teko yang tidak lagi bersih, seterusnya Kania tidak mau mikir lagi, meredakan batinnya yang ingin sekali lagi negur.

Terlintas sedetik kemudian di dalam kepalanya, barangkali ibu itu bisa memberi cerita yang banyak untuk ditulis. Mungkin sisi lain dari kehidupan di daerah tambak. Tadi sebelum ini Kania sudah berkeliling ke daerah tambak ini. Cuma sayangnya tanpa hasil. Kania tidak berminat untuk mewawancarai para pengusaha tambak ataupun para anak buahnya. Serasa tidak ada senses of news di wajah-wajah mereka.

Semuanya merupa yang sama. Kania malas melihatnya. Wajah-wajah yang rutin bekerja tanpa gembira. Wajah-wajah yang tertutup dan menutup, asing dan menjauh. Bilapun berkata seakan tanpa bahasa, datar dan kering. Padahal dari sekilas tambak yang ada, sepertinya ada banyak yang bisa cerita. Misal keadaan yang tidak mendukung, air bercampur limbah, hasil yang tidak seberapa, dan masih banyak lagi. Atau……….mungkin karena itu mereka jadi seperti hampa ?

Kania berpikir detik selanjutnya. Harus ada yang didapat dari ibu ini. Seorang perempuan yang rambutnya disisir seadanya. Berbaju kebaya lusuh dan berkain batik yang sudah menua. Baju dan kainnya punya satu kesamaan, yaitu sama-sama bertambal sulam. Beda dengan Kania, dan tentu saja beda, batinnya mau kembali celoteh, tapi Kania sudah tidak perduli.

Kania berpakaian ala anak kota berpunya. Bercelana jeans biru dan berkaos putih dengan jaket warna hijau tentara. Kania memang agak tomboy. Maunya memang begitu. Makanya ia memilih pekerjaan jadi wartawan, sambil menunggu kuliah selesai. Kania yang berambut ikal sebahu, berkulit coklat manis, maksudnya manis dipandang, batinnya menghibur yang kali ini diiyakan.

“Oh iya, dari sejak tadi aku tidak melihat suami ibu,” Kania coba mancing.

“Laki saya sudah ninggalin sejak lama,” ibu itu jawab pelan.

“Saya turut berduka,” Kania mau berduka, tapi keburu dibantah oleh ibu itu.

“Bukan meninggal, laki saya pergi gak tau kemana, ninggalin saya beserta………seorang anak yang waktu itu masih kecil,” terdengar nada getir dari ibu itu.

“Mengapa pergi, bu ? Kemana perginya ?” Kania mulai bersiap interogasi, dan tentu saja agak tidak sopan, demikian batinnya protes.

Ibu itu tidak segera menjawab. Kania menunggu tertahan. Sedangkan di luar hari sudah beralih senja, sayup-sayup terlantun suara azan maghrib. Kania tersentak, akankah dia bermalam di rumah ini ? Kania sebenarnya tidak masalah bila harus bermalam, tokh itu lebih aman daripada harus maksa pulang yang tentu saja kendaraannya belum tentu ada. Jauh pula dari rumah itu menuju jalan yang dilintasi mobil. Kania tidak mau ambil resiko.

“Neng, nginap saja di sini, maaf  tempat tidurnya kecil, tapi tak apa untuk barang semalam,” ibu itu malah lebih dulu menawarkan. Kania kali ini yang tersipu.

“Terima kasih bu, aku pikir juga memang harus menginap, terlalu resiko kalau harus nekat pulang sekarang juga,” Kania mencoba beri alasan. Padahal sekalian juga dia ingin mendapatkan cerita menarik dari ibu itu.

Sayangnya cerita itu tidak juga didapat. Kania pun tertidur karena ngantuk, sedikit nyenyak karena sesekali mengusir nyamuk besar yang betah di dekatnya. Sementara ibu itu masih belum tidur. Dia mulai mengingat-ingat separuh perjalanan hidupnya yang telah lewat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun