Dewi Sekartaji menahan jeritan batinnya sekeras mungkin. Waktu tinggal esok, tapi uang belum ada selembar pun. Sementara kartu ATM hanya menjadi pajangan dompet. Kemana ia harus berhutang lagi ? Dewi Sekartaji merasakan deru gugatan menggumpal di hatinya. Entah mengapa selalu hutang dan berhutang ? Yang lalu belum terbayar lunas kini masih harus menggapai kemurahan hati orang demi orang lagi.
Tetapi semuanya sudah tidak bisa. Kakanda Yudisthira, kakanda Bhima, kakanda Arjuna, dan kakanda Nakula Sadewa, tidak bisa memberi pinjaman lagi. Dewi Sekartaji tidak marah. Dia sudah memahami dari setiap kata sms yang diterima sebagai balasan permohonannya. Dewi Sekartaji tidak mengutuk apalagi mendendam. Dia ikhlas, apapun cercaan, gumaman, orang terhadap dirinya. Yah, memang Dewi Sekartaji sudah merasa tidak berguna lagi sekarang ini. Pun dihadapan suaminya, Raden Panji.
Raden Panji adalah sungguh pria yang gagah perkasa. Semua kuasa ada ditangannya. Termasuk kuasa untuk menentukan uang yang dipegang. Dulu dan dulu, sampai kini pun uang-uang itu seakan hanya menjadi sekejap di tangan Dewi Sekartaji. Bagaimana dan untuk apa, hanya Raden Panji yang tahu. Dan kini Dewi Sekartaji kelimpungan.
Dalam ketakutan, Dewi Sekartaji menyeruak masuk ke hutan. Diharapkan biarpun raksasa raksesi wujudnya, namun bisa didapat uluran lembaran sekedar menutup tagihan hari esok. Dewi Sekartaji dalam harap menyengaja mencari ke setiap jejak, adakah langkah raksasa raksesi yang dituju. Namun alangkah kecewanya, manakala raksasa raksesi itu malah menertawakan.
Dewi Sekartaji malah diharuskan membayar dalam jumlah lebih jika mau minjam. Dewi Sekartaji terpaksa setuju, daripada tidak dapat, keluhnya. Dan setelah itu Dewi Sekartaji hampir setiap bulan selalu menyambangi hutan, sekedar membayar cicilan dan kemudian hutang lagi. Selalu begitu. Dewi Sekartaji terjebak kedalam pusaran keputus asaan.
Derita batin Dewi Sekartaji didengar Nyi Pohaci, sang hyang Shri yang baik hati welas asih. Dalam turunnya ke bumi, Nyi Pohaci berubah wujud menjadi seorang nenek penjual kue. Nyi Pohaci menguji kebersihan hati Dewi Sekartaji, apakah dia mau membeli sepotong kue pun tak apa, meski dalam keadaan papa. Bahkan tak apa membayar dengan logam receh berkeping-keping banyaknya.
Mula Dewi Sekartaji menerima tawaran Nyi Pohaci untuk membeli kue bekal sarapan. Akhirnya Dewi Sekartaji tidak bisa menerima lagi saat Nyi Pohaci hanya menujunya sebagai pembeli. Berkali-kali Dewi Sekartaji menolak, tetapi Nyi Pohaci masih terus menawarkan kue demi kue.
Hingga suatu hari, Dewi Sekartaji bermaksud mencari rumah Nyi Pohaci. Tentunya sulit, walau dengan kerasnya hati akhirnya Dewi Sekartaji berhasil menemukan. Sebuah rumah petak, dari sekian petak. Dan samaran Nyi Pohaci pun terbuka. Dewi Sekartaji hanya bisa tercenung.
Nyi Pohaci lalu memberi nasehat panjang. Sepanjang hayat kehidupan. Nyi Pohaci berkisah tentang perjuangan seorang perempuan, seorang istri, dan dan seorang manusia. Nyi Pohaci bertutur tentang mantera-mantera suci yang hanya bisa berarti bila diucapkan dengan hati yang ikhlas dan bersih.
Bahwa pada akhirnya Sang Hyang Jagat lah yang menentukan segala-galanya. Untuk itu sabar tidak berbatas. Keberkahan akan datang menghampir dengan sendirinya. Dewi Sekartaji diingatkan kembali akan hakekat perempuan dan hidup itu sendiri. Tanpa perlu memberontak, melawan, menggugat, menentang, memperjuangkan, dan segalanya. Memang bertolak dengan ajaran Feminis.
Dewi Sekartaji masih menunggu hari esok. Akankah dia harus kembali melanglang ke pelosok demi meraih kebebasan sejatinya ? Mungkin perlu hari esok benar-benar dipastikan tiba. Agar Dewi Sekartaji tidak salah lagi membuat adegan demi adegan cerita dalam legenda yang sudah usang. Dewi Sekartaji akhirnya pun tersenyum.