Mohon tunggu...
Bayu Ramadhan
Bayu Ramadhan Mohon Tunggu... -

Menulis adalah caraku menumpahkan isi kepala ini

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertama Kali Menghadapi Kenyataan

7 November 2017   22:13 Diperbarui: 8 November 2017   11:00 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia terlihat gamang, berkali-kali mengerutkan dahinya, sambil melihat kertas di tangan kanannya secara seksama. Hari itu kami baru saja pulang dari sekolah SMA negeri faforit di wilayah ku. Sebuah kecamatan yang beruntung menjadi kota kecil karena letaknya berada di antara jalur Solo-Semarang dan Solo-Surabaya. Kami baru saja pulang setelah menunggu dua jam untuk tahu bahwa aku dinyatakan diterima di sekolah tersebut.

"Assalamualikum", salamku ketika turun dari motor dibonceng Bapak. "wa'alikumsallam", gimana hasilnya?, jawab mamak harap-harap cemas. "Alhamdulillah ketrima", jawabku dengan senyum sumringah, tangannya terus mengusap-usap rambut dan wajahku. Terlihat Destie dan Pratiwi sedang asyik bermain, dua adik perempuan yang dulu waktu kecil ku protes, karena adik perempuan tidak bisa kuajak main. Walaupun pada akhirnya aku terbiasa juga, setidaknya ketika pratiwi lahir. waktu itu usiaku 10 tahun, berjarak 6 tahun dengan Destie yang lahir ketika usiaku 4 tahun. 

        "Ya sudah, makan sana le..!", Suruh mamak setelah puas mengusap-usap wajahku. Segera aku meninggalkan ruangan depan menuju dapur untuk makan dan melanjutkan shalat dhuhur.

      Siang ini begitu panas dan terik aku keluar ke teras setelah menyelesaikan makan dan shalat dhuhur. Di ujung teras aku melihat Bapak sedang duduk terdiam. tangan kanannya memegang erat selembar kertas. Berkali-kali Ia mengerutkan dahinya sambil mnghisap rokok kreteknya yang mulai habis. Dia menolehku seakan sadar dengan kehadiranku, dengan cepat aku masuk kedalam. Di dalam aku menghampiri mamak yang sedang asyik dengan mesin jahitnya. "Bapak kenapa mak?", tanyaku lirih. "Ga apa-apa, udah kamu tenang aja gak usah mikirin", ucap mamak menenenangkan, seolah tahu apa maksud dari pertanyaanku.

      Malam ini aku mengkhatamkan bacaan Al-qur'an ku yang kedelapan kalinya. Aku terbiasa membaca Al-qur'an setelah Maghrib sejak lulus Iqra' 6 di TPQ waktu kelas 4 SD dulu. Di depan TV terlihat Destie dan Pertiwi sedang asyik menonton Woody Woodpacker, acara kesukaann mereka. Aku memilih masuk ke kamar mendengar radio dan menunggu lagu-lagu 'Peterpan' diputar, merka sangat keren sekali, aku sering menyanyikan lagu mereka, dengan suara yang aku mirip-miripkan dengan Ariel, walaupun memang tidak pernah sama.

      Tiba-tiba ada ketukan pintu dan suara mamak masuk ke dalam kamar, sembari duduk disebelahku yang tengah sabar menunggu lagu peterpan diputar. "Tadi ada berapa orang yang keterima?", tanya mamak. "240 orang", jawabku sambil memutar-mutar sluran radio. "Aku urutan 25"  lanjutku sambil memutar dudukku ke arahnya. "Wah,,, hebat le bisa nomor 25 dari 240", jawabnya dengan bangga. "Terus temenmu kemaren lolos", tanya mamak unruk seorang teman yang baru ku kenal pada waktu pendaftaran kemarin. "Lolos", jawabku singkat. "Ya sudah cepat tidur sana", suruh mamak ambil berjalan meninggalkan kamarku.

     Pagi ini cuaca dingin sekali, sampai-sampai aku menggigil terus-terusan setelah mandi. Bapak dengan membawa handuk buliknya berjalan menke belakang menuju kamar mandi. Ada yang aneh dengannya hari ini, Ia terus berjalan menunduk tanpa menyapa ataupun memanggil namaku. Tapi ya sudahlah mungkin Ia sedang lelah. 

     Hari ini adalah waktunya aku mendaftar ulang di SMA favorit pilihanku, aku semangat sekali tersenyum sumringah membayangkan bagaimana akau bersekolah di sekolah baruku nanti, wajar saja aku senang, ini adalah sekolah favorit di kotaku, dimana setiap anak jenius akan berkumpul disini. Dengan menggunakan seragam SMP ku yang mulai sempit dan lusuh, rasanya aku ingin cepat-cepat sekali. 

       Aku masih duduk di depan tv sambil menunggu bapak bersiap-siap mengantarku ke sekolah baru, terlihat dia keluar kamar masih dengan muka lesunya yang agak tidak biasa kemudian duduk disampingku. "Kamu yakin mau seklah di situ?" tanyanya dengan suaranya yang agak keras. Belum sempat aku menjawab lalu iya mulai berkata lagi, "Tapi mahal lho sekolahnya, bapak sih sanggup kalau cuma bayar daftar ulangmu itu, tapi kalau kedepannya nanti? 

Tiba-tiba bapak berhenti bicara sembarimenghela nafas, "Lee... Bukan bapak mau ngehalangin kemauanmu, tapi kalau kamu tetep mau sekolah disitu, jujur aja bapak rekoso le.... . "Tapi pak", jawabku agak pelan lalu entah kenapa aku menghentikan pertanyaanku, dan sambil menghela nafas iya berkata lagi, "Ya sudah, kalau kamu memang masih mau sekolah disitu ga papa, bapak udah kasih uangnya ke mamakmu, nanti kamu berangkat aja sama mamakmu." "Ya udah bapak berangkat dulu", katanya sambil beranjak pergi.

      Aku masih duduk terus saja melihat tv, sedangkan fikiranku terus saja berfikir, aku dihadapkan pada dua pilihan, harus mengikuti pilihanku atau mengerti dan menuruti apa yang bapak katakan. Dadaku rasanya sesak sekali, rasanya inngin ada yang meledak tapi tetap saja ku tahan terus. "Le... Gimana", terdengar suara sayup yang tak lain suara mamak. "Kamu mau tetep masuk SMA negeri?", lanjutnya, aku membalasnya dengan anggukan kecil penuh keraguan. 

"Le... Kalo kamu memang bener-bener mau, bapak sama mamak bisa biayain masuk kamu ke sekolah negeri, tapi gimana nanti kalau udah sekolah, gimana  sangumu, gimana adik-adikmu yang masih sekolah. Bapak sama mamak bisa biayain kamu, tapi pasti bakal kewalahan, bakal pontang-panting sana-sini. Lagipula, kalo kamu sekolah di SMA, kamu mau ngapain kalo udah lulus?". Aku masih terdiam semakin sesak rasanya, rasanya ingin sekali marah tapi saat itu juga aku mencoba menahannya aku selalu ingat nasihat Mbah Dulhadi Guru ngajiku waktu kecil, "Jangankan mbentak, ngomong ah... saja sudah durhaka, balasannya neraka", belum lagi cerita Legenda 'Malin Kundang' yang sudah kadung berakar di dalam kepalaku selama ini.

      Terlihat mamak yang sudah bersiap dengan pakaian bagus satu-satunya menghampiriku, "Le... mau berangkat gak?", katanya sembari mengambil posisi duduk dihadapanku. "Lee.. Bapak sama mamak sudah rekoso banget, kalo nyekolahin kamu ke SMA Negeri itu. Tapi, kalo ke STM tempat bapakmu kerja, kamu dapet ketrampilan dan gampang cari kerja. 

Bukannya mamak sama bapak ini gak mau nurutin kamu, tapi cuma ini cara satu-satunya supaya kamu tetep bisa lanjut sekolah." Kali ini aku benar-benar meledak, meledak bukan karena marah, tapi meledak karena keputus asaan, dan semua badanku lemas kehilangan tenaga, rasanya seperti tidak ada semangat lagi untuk hari esok. Aku bertanya-tanya apakah ini nyata atau mimpi?

      "Mak, ayo berangkat!", Ajakku sembari bangkit dari duduk dikuti mamak yang matanya mulai berkaca-kaca. Iya terus saja mngusap-usap wajah dan kepalaku sesekali aku menatap matanya dan langsung memalingkan wajahku. Jujur saja aku tidak sanggup dengan tatapan ini. Sepanajang perjalan aku hanya tidak bicara dengan mamak, aku hanya menatap keluar jendela bis melihat hamparan sawah, dengan segala kecamuk dikepalaku, "Kenapa?", kata-kata yang ku ulang terus dalam hati.

        Sore itu aku sedang bermain-main dengan pratiwi, si bontot yang masih berusia 5 tahun sedang terus saja menceritakan pengalamannya di Taman Kanak-kanak, dia sangat dekat denganku. Maklum ketika iya lahir usiaku sudah 10 tahun jadi sudah sedikit lebih dewasa. Berbeda dengan Destie yang selalu ngeyel, yah maklum dulu waktu kecil kalo mau ikut main selalu ku tolak karena cuma ngerepotin aja, belum lagi iya cengeng dan takut kalo ketemu orang asing. 

Terdengar suara motor bapak dari arah luar, dan Pratiwi yang langsung berlari  menghampiri suara tersebut. "Bapak pulang", teriak Pratiwi seperti biasa memberi sambutan kalo bapak pulang. "Tadi kenapa ndak jadi ke SMA Negeri malah belok ke STM, Kan Bapak udah kasih duitnya", kata mencoba menggodaku. Aku tetap diam, aku menidurkan badanku tengkurap. Hari ini akau sedang tidak ingin bicara, aku tidak ingin melihat siapapun.

          Suara jangkrik begitu renyah di telinga malam ini memasuki halaman rumah, setelah sholat Isya' dari masjid. aku membuka pintu dengan tertunduk dan berjalan langsung ke dalam kamar. Ku lihat Destie dan Pratiwi sedang asyik dengan mainannya. Seperti biasa aku menyalakan radio mini compo ku, kali ini ku setel denga suara keras-keras.Terdengar teriakan protes dari Destie yang merasa terganggu dengan suara radioku sekaligus teriakan mamak yang memarahi Destie untuk diam, seakan sedang membelaku. Mungkin mamak merasa bersalah telah membuatku kecewa hari ini. Hari ini aku harus gagal, gagal bukan karena aku tidak mampu. tapi aku harus gagal karena beberapa keadaan harus ku mengerti. Cara gagal yang menurutku sangat menyakitkan. Malam ini aku hanya ingin tertidur dan berharap ini hanya mimpi saja, dan esok hari aku bangun di dunia nyata. Dunia nyata yang seperti keinginanku.

Bersambung................

Penulis              : Bayu Ramadhan

Latar Cerita   : keluarga kecil di salah satu wilayah Solo tahun 2004

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun