"Kami menikah dengan mereka (wanita ahli kitab) setelah pembebasan kota Kufah bersama Saad bin Abi Waqas"
Sampai disini kita sudah mengetahui hukum asal dari pernikahan dengan wanita ahli kitab dan para ulama sepakat akan kebolehannya. Namun ternyata menurut para ulama hukum pernikahan ini dibarengi dengan perkara makruh karahata tanzih [1] atau perbuatan yang dibenci. Karena asas dari pernikahan adalah saling bertukar kasih sayang, tolong menolong, melipur lara antara suami dan istri dalam bentuk dualisme[2]. Perasaan ini dapat direalisasikan oleh pasangan yang memiliki satu keyakinan atau kepercayaan yaitu agama.[3]
Imam Ibnu Hajar al-Asqolani menambahkan dalam kitabnya Fathul baari bahwasanya hukum pernikahan ini mengandung unsur makruh dan tidak dianjurkan untuk seorang muslim melakukannya kecuali dalam keadaan darurat.
Â
: " , "
Â
Berkata Ibnu Hajar dalam kitabnya,"Dibolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab dan lebih utama untuk tidak melakukannya kecuali dalam keadaan darurat."
 Berdasarkan dari pemaparan diatas para ulama mencoba menjabarkan sebab-sebab hukum pernikahan ini menjadi makruh, diantaranya disebutkan dalam kitab al-ahwal al syakhsiyah lil muslimin yaitu dikarenakan
 1. Orang-orang ahli kitab mereka gemar meminum khamr atau minuman memabukkan.
 2. Memakan babi, mereka juga memakan makanan yang diharamkan dalam syariat islam.
 3. Menjadikan makanan-makanan haram sebagai sumber gizi dan akan berpengaruh kepada janin yang ada dalam kandungannya.