Di sisi lain, tenaga kesehatan yang memang berjibaku dengan pasien yang benar-benar sakit Covid-19 tidak mendapatkan upah sebagaimana yang dijanjikan dengan mudah. Tunggu pemberitaan tentang mereka menjadi viral dan mendapatkan tanggapan dari masyarakat baru pemerintah melalui Gugus Tugas memperhatikannya. Di mana peran Gugus Tugas pimpinan Doni Monardo di tengah ini semua?
Gagalnya kepemimpinan Doni Monardo sebenarnya sudah diprediksi sejak awal. Kegagalan ini terjadi karena penanganan pandemi cenderung dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi. Terakhir, di bulan September kemarin, Presiden menugaskan Dony Monardo dan Luhut Binsar Panjaitan untuk menurunkan kasus Covid-19 dan angka kematian di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Utara, dan Papua. Namun, setelah dua pekan yang ditargetkan itu lewat, keduanya dinyatakan gagal menekan kasus di 9 provinsi tersebut.
Mengacu pada data, selama dua pekan yang diminta Presiden, kasus di DKI justru mengalami fluktuasi dan sempat mencapai 1352 kasus pada tanggal 21 September, yang kemudian turun menjadi 898 kasus pada 28 September, dan naik kembali menjadi 1.238 pada 29 September. Selain DKI, kenaikan kasus dalam dua pekan itu juga terjadi di Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Kalau ditanya apa yang menjadi kelemahan utama Doni Monardo dalam kepemimpinannya, maka jawabannya adalah ketidakmampuannya dalam mengkoordinasikan potensi yang ada.
Terlihat, Kementerian dan lembaga bergerak sendiri-sendiri dalam memerangi Pandemi. Yang satu sebarkan masker, yang satu melakukan rapid test, yang lain semprot disinfektan. Bahkan ada juga yang tes usapnya dinyatakan tidak valid. Belum lagi ketika ada lembaga yang bergerak sendiri melakukan riset untuk menemukan Obat Corona yang kemudian dinyatakan tidak sah oleh BPOM. Parahnya lagi, Kementerian Sosial harus dihadapkan dengan sulitnya membagi sembako secara merata dan tepat sasar.
Barangkali, kita belum pernah belajar dari Pandemi sebelumnya, karena memang kita belum mengalaminya. Kalau memang seperti ini, maka meninggikan ekspektasi kepada seorang Doni Monardo adalah hal yang sia-sia.
Apalagi kita tahu, dan ini sesuatu yang tidak bisa ditutup-tutupi, tiap elit yang terlibat dalam menangani Covid-19 terasa lebih mendahulukan kepentingan politiknya masing-masing agar mendapatkan citra yang baik untuk kontestasi pemilu 5 tahun yang akan datang. Antara memang Dony Monardo tidak kapabel untuk tugas yang diberikan atau memang kita harus menyadari bahwa Dony hanyalah sebatang jarum kecil di tengah tumpukan 'jerami persoalan' di tengah pandemi di Indonesia ini.
Namun menitikberatkan kesalahan yang besar pada sistem juga tidak bisa melepaskan problem kepemimpinan dalam diri Dony Monardo. Kasus yang cukup terang benderang mengungkapkan itu adalah ketika sejumlah tenaga ahli dari Satgas Penanganan Covid-19 mengajukan pengunduran diri. Salah satu yang mengundurkan diri adalah Guru Besar Universitas Indonesia, Akmal Taher. Pak Akhmal sebelumnya menjabat sebagai Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Ia memutuskan untuk mengundurkan diri karena kewalahan dengan sikap pemerintah yang tidak serius dalam melakukan kewajiban 3T atau yang biasa disebut dengan testing, tracing, dan treatment ke masyarakat. Ketidakseriusan itu membuat usaha apapun untuk menghadapi pandemi Covid-19 menjadi sia-sia. Pemerintah dalam hal ini sudah diwakili oleh keberadaan Gugus Tugas pimpinan Dony Monardo. Mengapa Dony Monardo tidak bisa mengatasi problem 'klasik' ini ketika Pandemi sudah masuk usia 7 bulan di Indonesia?
Ataupun kalau Pak Don merasa ada yang menghambat, 'lawanlah' Pak! Jangan melempem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H