Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2020 pada 13 Maret 2020 menetapkan Doni Monardo sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019. Gugus tugas ditengarai memiliki lima tugas.
Pertama, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan. Kedua, mempercepat koordinasi antarkementerian atau lembaga dan pemda dalam menangani pandemi Covid-19.
Ketiga, melakukan antisipasi perkembangan eskalasi persebaran virus Covid-19. Keempat, melakukan koordinasi dalam melakukan pengambilan kebijakan operasional. Kelima, meningkatkan persiapan dan kapasitas dalam melakukan pencegahan, deteksi, serta respon terhadap virus Covid-19. Setelah lewat 7 bulan masa kerja Doni Monardo, apakah ia berhasil menjalankan amanat Presiden?
Tugas Doni memang tidak mudah. Sejak awal, kebijakan yang diambil olehnya tidak diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana teknis di bawahnya. Bahkan pemerintah daerah merespon pandemi awal Maret secara berbeda yang membuat koordinasi antara pusat dan daerah tidak menyatu. Mulanya, terkait mudik, sikap pemerintah sangat tidak jelas. Di awal, dikatakan bahwa mudik dilarang. Namun kemudian pemerintah masih membuka peluang agar masyarakat bisa melakukan mudik. Doni Monardo melaksanakan keputusan Presiden Jokowi dengan melarang mudik hanya untuk ASN, anggota TNI dan Polri, serta pegawai BUMN dan tidak untuk masyarakat.
Namun kita tahu, ketidakpatuhan di lingkungan ASN dan pegawai BUMN juga cukup tinggi walau tidak terdeteksi oleh pemberitaan media yang memang sejak awal cenderung menjaga 'ketertiban' masyarakat agar tidak mudah panik. Setelah pro-kontra mudik, yang kemudian diikuti dengan pembicaraan apakah kita melakukan lockdown atau tidak, pemerintah melalui gugus tugas melaksanakan PSBB.
Dari PSBB pertama, yang kemudian diikuti oleh 3 bulan new normal, lalu PSBB tahap kedua sekarang, kita bisa bertanya, apakah ada perubahan yang positif terhadap grafik perkembangan kasus Covid-19? Faktanya kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak mampu menurunkan kurva pandemi.
Faktor ketua gugus tugas Doni Monardo yang berlatarbelakang militer mulanya menjadi harapan agar pendekatan komandonya bisa dipakai untuk merapikan koordinasi antara berbagai pihak untuk menghadapi pandemi serta mendisiplinkan masyarakat dalam menjaga protokol kesehatan.
Nyatanya, latarbelakang itu saja tidak cukup, karena jauh dari itu, tugas-tugas di gugus tugas lebih membutuhkan kapasitas manajerial yang spesifik pada organisasi data dan pemahaman kesehatan yang baik. Di sini, publik menilai, bukankah lebih baik jika ketua gugus tugas dipegang oleh seorang sipil yang memahami bagaimana membaca tren dari berjibunnya data serta memahami ilmu kesehatan dengan baik untuk melaksanakan kerja-kerja antisipatif?
Terkait berapa jumlah masyarakat yang terinfeksi dan meninggal karena Covid-19 saja kita masih belum bisa menjawabnya dengan baik. Sempat ada kisruh yang mengatakan bahwa data pemerintah pusat dan daerah berbeda-beda. Bahkan antara data gugus tugas dan kementerian kesehatan terdapat perbedaan.
Dony kemudian menegaskan bahwa tidak ada rekayasa data yang dilakukan di Indonesia dan tidak ada maksud apapun dari pemerintah untuk menyembunyikan data itu ke masyarakat. Ia berjanji BPBD akan bersinergi dengan dinas kesehatan yang dibantu TNI-Polri agar data masuk melalui satu pintu yang terintegrasi sehingga lebih akurat. Baru saja ini dijanjikan, muncul kemudian persoalan lain beberapa hari terakhir.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengklaim adanya kemungkinan rumah sakit men-covid-kan pasien yang meninggal. Yang sejatinya meninggal karena penyakit lain, tetapi oleh rumah sakit dinyatakan meninggal karena Covid. Alasan di balik ini sangat miris. Rumah sakit ditengarai ingin mendapatkan dana penanganan pasien Covid-19 dari pemerintah.