Mohon tunggu...
Usman Apriadi
Usman Apriadi Mohon Tunggu... -

biographical info.. will be written later

Selanjutnya

Tutup

Money

Kita dalam Pasar Selular

2 Agustus 2011   08:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="" align="alignleft" width="183" caption="ya, ada peluang bisnis dibalik, semangat pemerataan jasa selular. (sumber: kaskus.us via bluehc)"][/caption] Mari bayangkan, jika anda adalah pengusaha telekomunikasi yang menjual jasa layanan jaringan seluler. Maksud saya, praktisnya anda menjadi salah satu pemilik operator seluler yang ada di Indonesia. Baik yang besar maupun kecil, bisnis ini jelas dengan modal yang besar. Sejalan dengan itu, berjalan dengan perputaran uang yang besar: omset. Jadi, bayangkan sejumlah banyak orang yang setidaknya membelanjakan (misalnya, hanya) 5000 rupiah setiap minggunya kepada anda. Maka hasil perkaliannya akan menjadi jumlah yang besar. Saat ini, siapa yang tidak butuh layanan seluler? Sejauh ini kita sedang meyakini pentingnya informasi dengan perubahan dunia yang begitu derasnya. Dan telepon, sms, internet, telah begitu akrab dengan keseharian kita. Berapa rata-rata pemakaian pulsa anda per hari? Jika kita mengingat perkembangan awalnya, penggunaan HP saait ini tidak lagi begitu mewah. Dulu pernah ada yang diistilahkan dengan ‘beli nomer’ untuk sebuah kartu perdana. Kalau tidak salah, pada pertengahan 90an sebuah starter pack dengan pulsa 100ribu dihargai 500ribu. Belum lagi harga telepon genggam saat itu, jelas sebuah konsumsi yang mewah. Dan ada bagusnya juga itu tidak terjadi lagi sekarang. Seorang teman punya pendapat banyaknya operator seluler akan menghasilkan persaingan yang menguntungkan. Selain tarif yang kompetitif, ada banyak pilihan dan promo lain ditawarkan. Tapi saya tertarik dengan sebuah eksperimen pemikiran tentang sebuah operator seluler tunggal. Dan saya membayangkan tidak ada lagi tarif mahal karena tarif mahal antar/ beda operator. Meski begitu, entah bagaimana ini bisa saja dianggap akan menghambat semangat berinovasi. Hal lain yang bisa dikaitkan: tentang kebebasan berusaha, ekonomi yang terlalu totaliter, dan lain sebagainya. Sekedar membagi pengamatan yang sekedarnya, rebutan konsumen mungkin memang telah begitu serius dalam bisnis ini. Tanpa menyebut nama, ada sebuah operator besar memiliki kecenderungan mempertahankan omsetnya agar tidak berpindah ke pesaingnya. Dan yang lain cenderung mencoba menarik hati masyarakat pengguna untuk beralih. Tampilnya bujuk-membujuk melalui iklan ini tampak sangat ramai. Hal lain yang juga sama semaraknya adalah ‘anak perusahaan’ atau produk kedua perusahaan. Mereka menampilkan citra yang berlainan untuk segmen yang dibidik. Dan itu akan jelas membantu dalam meraih pangsa, kelas, atau segmen, di pasar konsumen. Yang kemudian tentu saja bisa saja menjadi operator yang sama besarnya. Toh tetap berujung pada induk yang sama. Tentang peningkatan omset, yang saya maksudkan adalah paket perdana (starter pack). Dan usaha yang dilakukan dalam rangka penambahan pelanggan ini adalah sekitar promo gratis dan kegiatan branding yang meyakinkan tentang sebuah pilihan tepat, termasuk gaya hidup dan juga prestise. Ini mungkin akan sedikit berkaitan dengan sesuatu yang bersifat mode. Tapi, penjelasan, pemaparan, dan uraian akademis tentang kode budaya melalui iklan akan selalu terasa berlebihan. Yang jelas, iklan-iklan dikemas menarik dan atraktif seolah-olah kita semua akan terhibur dan menyimak dengan antusias. Ada kesan semua usaha yang dilakukan adalah sebuah perjudian meraih omset. Yaitu menjaring pelanggan baru, yang menjadi pelanggan tetap, dalam pasar konsumen pulsa. Sepertinya memang inilah yang terpenting dalam bisnis ini. Angka yang besar berawal dari sana. Seperti yang telah coba disampaikan, ini berkaitan dengan fenomena mudahnya memilih perdana, jual bebas. Kita seperti diajak mencoba semua operator yang ada, dan akhirnya memiliki lebih dari satu nomer telepon. Dan selain mudah, juga ada promo tarif murah dan serba gratis. Kini semua yang berada dalam genggaman terkesan bukan lagi tentang kemudahan akses. Kita seperti dibawa untuk tetap mengakses: fasilitas yang terbeli telah melampaui kebutuhannya. Dan apalah artinya gratis bagi si penganggur? Perusahaan selular tentu tak ingin investasinya berakhir sia-sia. Pengadaan tower komunikasi, SDM yang profesional, hingga juga pembiayaan iklan yang memperkenalkan dan menawarkan prodak tentu sebuah hasil: keuntungan. Dan masih dalam pembahasan yang sama, akan sangat menyenangkan jika keuntungan cukup besar, dan semakin besar. Sebuah persaingan, perebutan omset. Selanjutnya, jika kembali berpikir apa sebenarnya yang dibutuhkan? Mungkin prihal komunikasi keluarga, bisnis, dan mungkin termasuk juga korespondensi email. Kalaupun tidak sesederhana itu, mungkin beberapa kalangan memanfaatkannya untuk aktifitas perbankan, transaksi online, menulis jurnal, atau juga para siswa membaca Wikipedia untuk tugas sekolah. Yang jelas, kemudahan dan pemerataannya akan cukup menjanjikan harapan. Dan kalaupun mau sinis, pastinya soal masih saja kecenderungan bentukan iklan yang sekedar menawarkan hal menyenangkan. Ah, lagi pula, selain sebagai pengumuman promo, saat ini kepentingan iklan memang sekedar sebagai penanda eksistensi sebuah brand saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun