Bebarapa hari yang lalu ada mahasiswa yang bertanya, apa tujuan saya menulis di media sosial.
Jawabannya biar apa yang saya dengar, yang saya liat, dan saya kerjakan tidak lupa dan tidak lewat begitu saja.
Mahasiswa tersebut juga bilang, jarang perawat yang suka nulis di media mas. Buru-buru saya luruskan kalau semua perawat itu tukang nulis.
Apa yang direncanakan atau apa yang akan dikerjakan dicatat, apa yang sedang dikerjakan ditulis, dan apa yang sudah dilakukan wajib didokumentasikan dalam bentuk tulisan. Semua catatan dan tulisannya hanya bisa dilihat atau diakses orang tertentu dibawah sumpah.
Mas jurnalis? Tanya si mahasiswa
Aku jawab bukan, namun aku sebagai perawat diajari dan bekali cara mengumpulkan data mirip jurnalis.Â
Mulai usia janin, bayi, anak, remaja, dewasa, lansia, bahkan yang sudah meninggal kami harus bisa menggali informasi.
Bagaimana mengumpulkan data subyektif, data obyektif, data fisik, data dari pihak lain, data psikologis.
Wawancara, mendengar, melihat, meraba, mengetuk, menyentuh sampai menganalisa menjadi sebuah data.
Bahkan dari mimik muka, sorot mata, gerak-gerik, warna kulit, warna rambut, warna kuku menjadi bahan informasi yang valid meski mulut pasien berkata tidak jujur. Dari gejala fisik bisa kami simpulkan orang yang berikan data bohong atau tidaknya.
Perawat harus klarifikasi berbagai data dan sumber untuk menyimpulkan dengan cepat untuk melakukan tindakan tepat dan cepat, terlebih dalam kondisi darurat.
Semua harus tertulis jelas, dan harus valid dan serta bisa dipertanggungjawabkan. Mirip reportase, malah terkadang seperti investigasi.
Kami dibekali cara-cara simpati, empati, dan berbagai macam perasaan sehingga data kami peroleh.Â
Bagaimana berhadapan dengan bayi, anak, remaja, dewasa, bahkan pada lansia banyak tehnik yang terus harus dikembangkan.