Hari baru saja gelap, kami segera mengambil air wudhu dari sungai yang mengalir ke arah laut, dan menunaikan sholat magrib di tempat ala kadarnya. Satu dengan yang lainnya saling berjauhan, asyik dengan spot foto masing-masing. Hingga tak terasa jam 10 malam sudah lewat.
Saya jawab, kami hobi motret, hobi nulis di media. Ganti saya tanya dia siapa?
Dia gelagapan, gaya sok premannya berganti santun. Lalu cerita ngalor ngidul, intinya kami tidak boleh memotret ke arah lampu kelap-kelip di tengah lautan sisi tenggara. Apalagi sampai menyewa perahu untuk ke tengah.
Saya semakin penasaran digertak begitu, memang dia siapa. Toh pantai Soge Pacitan ini adalah fasilitas umum dan kami masuk bertiket. Niat ke pantai inipun untuk memotret. Kami berdebat apa kepentingan dia melarang kami, mengapa dia mengatur kami.
Akhirnya dia kehabisan ngomong, lalu cerita kalau di tengah laut yang lampu kelap-kelip tersebut adalah lokasi pengelolaan lobster, di sana ada pembudidayaan. Bibit-bibit lobster tersebut untuk memenuhi kepentingan ekspor.
Ada banyak "backing"Â yang melindunginya. Alasan dia melarang kami memotret karena hal itu, dia juga semakin takut kalau ditulis di media sosial.Â
Kejadian tersebut kami alami pada bulan April yang lalu, ketika kami hunting foto di pantai Soge Pacitan bersama teman-teman Beku. Pantai di sisi timur kota Pacitan, berada di jalur lintas selatan menuju Trenggalek.
Pantai dengan hamparan pasir putih, dengan pepohonan kelapa membuat pantai terasa teduh. Pantai yang saling berdekatan dengan destinasi pantai lainnya yang hampir dalam satu lokasi. Pantai yang saban hari dikunjungi ratusan orang, baik pengunjung lokal, luar daerah, atau bahkan mereka yang kebetulan lewat saat perjalanan.