Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemelut Pasar Songgolangit Semakin Sengit

20 Februari 2019   14:02 Diperbarui: 20 Februari 2019   19:11 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Takut kehilangan pelanggan membuat mereka bertahan

"Sebut Saja Mawar", Seperti tulisan di kaleng bekas cat yang menjadi perkakasnya.
Mawar bertahan di reruntuhan bangunan pasar stasiun yang barusan dirobohkan oleh Satpol PP. 

Beda dengan pedagang lainnnya, mawar bertahan karena dia tak kuat  berjalan ke pasar relokasi. Saban hari dia berjalan kaki pulang pergi ke pasar, sejauh 10 km pulang pergi. Ada polemik kepentingan antara Pemda, pedagang, pihak PT KAI, koperasi, makelar, serta politikus yang mengambil keuntungan di tahun politik.

Bertahan diantara puing puing
Bertahan diantara puing puing
Sejarah berdirinya pasar stasiun Ponorogo dimulai paska kebakaran pasar Legi tahun 2000-an. Pedagang kurban kebakaran direlokasi di bekas terminal di kelurahan Tonantan.

Banyak pedagang yang tidak mau pindah akhirnya membuat lapak sementara dengan menyewa aset PT KAI yang bersebelahan dengan pasar Legi. Saat itu pihak Pemda memberikan kelonggaran karena situasi para pedagang sedang berduka.

Ibarat jamur di musim penghujan, pasar darurat di stasiun berkembang pesat. Banyak pedagang baru yang dahulu belum berdagang di pasar induk. Saat pasar induk selesai dibangun, pedagang dari relokasi terminal lama kembali. Pasar stasiun sudah terlanjur ramai mengalahkan pasar induk. Protes dari pedagang pasar induk tak terdengarkan. Seakan waktu itu pihak Pemda melakukan pembiaran, kata para pedagang pasar induk. 

Pasar stasiun seakan sudah berdiri sendiri, terlebih ada koperasi yang menaungi. Pihak koperasi menyewa lahan ke PT KAI, dan selanjutnya disewakan lagi kepada pedagang. Banyak kapling-kapling baik yang dibangun permanen maupun semi permanen.

Takut kehilangan pelanggan membuat mereka bertahan
Takut kehilangan pelanggan membuat mereka bertahan
Masalah baru timbul, para pedagang di bekas stasiun yang merasa menyewa pada pihak PT KAI sehingga tak ada kaitannya dengan Pemda. Dan kabarnya PT KAI juga bersikukuh melindungi para pedagang di bekas stasiun. Sehingga mirip-mirip negara di atas negara.

Menurut Susilo harga lapak 2x3 meter dihargai 80-120 juta. Berkali-kali pihak Pemda menata namun serasa ada pihak yang merasa kalau Pemda tidak berhak karena lokasi ini menjadi otoritas PT KAI.

Tahun 2017 kemarin pasar Legi yang telah berganti nama pasar Songgolangit terbakar kembali. Pihak Pemda melakukan relokasi dan penataan kembali dengan relokasi di bekas RSUD Ponorogo yang masuk wilayah kelurahan Keniten.

Pasar stasiun merasa bukan bagian dari pasar Songgolangit. Para pedagang tidak mau pindah. Pihak-pihak Pemda memberikan pemberitahuan untuk pindah dan akan dilakukan perobohan yang tidak sesuai tata ruang kota.

Sampai kapan mereka bertahan? Sampai diusir pemilik lahan
Sampai kapan mereka bertahan? Sampai diusir pemilik lahan
Sebagian besar pedagang mau pindah dengan alasan semakin lama pindah akan semakin merugikan. Tercatat terakhir 144 pedagang  yang tidak mau pindah, karena sebagian dari yang enggan pindah ini baru saja memperbaharui sewa. Sudah menyewa dengan harga tinggi lalu siapa yang akan mengganti?

Menurut pemda nasib pedagang yang telanjur mengeluarkan uang sewa,  adalah urusan pedagang dengan penyewa lahan.

Pihak PT KAI kebakaran jenggot karena merasa pihak Pemda tidak berhak merobohkan bangunan permanen di lokasi bekas stasiun. Bangunan-bangunan permanen yang dibangun oleh pemilik uang dan disewakan dengan harga tinggi. Meski sejak awal kabarnya Pemda sudah memperingatkan untuk tidak membangun bangunan permanen, karena tak sesuai dengan peruntukan.

Pihak pedagang meriang, pihak Pemda dan PT KAI saling menantang sampai melontarkan pertanyaan untuk menempuh jalur hukum.  Para politisi menari kegirangan, tahun politik kesempatan untuk menggoreng issue. Alasan pasar darurat tak mampu menampung, alasan pasar darurat sepi, alasan pasar darurat tak represitatif.

Enggan beranjak karena merasa berhak
Enggan beranjak karena merasa berhak
Enggan direlokasi
Enggan direlokasi
Situasi pasar semakin kumuh dan berbau, apalagi puing-puing yang sudah roboh masih berserakan. Terutama saat musim penghujan begini.

Keinginan Pemda untuk  merevitalisasi pasar-pasar tradisional malah terganjal di pasar induk.

Lambat laun pasar tradisional akan tergerus bila kondisinya masih semrawut apalagi jorok. Pasar tradisional harus segera menyesuaikan karena kompetisi dengan pasar modern tak bisa dihindarkan. Kalau tidak bisa beradaptasi dan hanya memikirkan kepentingan sesaat pasti akan mati dengan sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun