"Sebut Saja Mawar", Seperti tulisan di kaleng bekas cat yang menjadi perkakasnya.
Mawar bertahan di reruntuhan bangunan pasar stasiun yang barusan dirobohkan oleh Satpol PP.Â
Beda dengan pedagang lainnnya, mawar bertahan karena dia tak kuat  berjalan ke pasar relokasi. Saban hari dia berjalan kaki pulang pergi ke pasar, sejauh 10 km pulang pergi. Ada polemik kepentingan antara Pemda, pedagang, pihak PT KAI, koperasi, makelar, serta politikus yang mengambil keuntungan di tahun politik.
Banyak pedagang yang tidak mau pindah akhirnya membuat lapak sementara dengan menyewa aset PT KAI yang bersebelahan dengan pasar Legi. Saat itu pihak Pemda memberikan kelonggaran karena situasi para pedagang sedang berduka.
Ibarat jamur di musim penghujan, pasar darurat di stasiun berkembang pesat. Banyak pedagang baru yang dahulu belum berdagang di pasar induk. Saat pasar induk selesai dibangun, pedagang dari relokasi terminal lama kembali. Pasar stasiun sudah terlanjur ramai mengalahkan pasar induk. Protes dari pedagang pasar induk tak terdengarkan. Seakan waktu itu pihak Pemda melakukan pembiaran, kata para pedagang pasar induk.Â
Pasar stasiun seakan sudah berdiri sendiri, terlebih ada koperasi yang menaungi. Pihak koperasi menyewa lahan ke PT KAI, dan selanjutnya disewakan lagi kepada pedagang. Banyak kapling-kapling baik yang dibangun permanen maupun semi permanen.
Menurut Susilo harga lapak 2x3 meter dihargai 80-120 juta. Berkali-kali pihak Pemda menata namun serasa ada pihak yang merasa kalau Pemda tidak berhak karena lokasi ini menjadi otoritas PT KAI.
Tahun 2017 kemarin pasar Legi yang telah berganti nama pasar Songgolangit terbakar kembali. Pihak Pemda melakukan relokasi dan penataan kembali dengan relokasi di bekas RSUD Ponorogo yang masuk wilayah kelurahan Keniten.
Pasar stasiun merasa bukan bagian dari pasar Songgolangit. Para pedagang tidak mau pindah. Pihak-pihak Pemda memberikan pemberitahuan untuk pindah dan akan dilakukan perobohan yang tidak sesuai tata ruang kota.
Menurut pemda nasib pedagang yang telanjur mengeluarkan uang sewa, Â adalah urusan pedagang dengan penyewa lahan.
Pihak PT KAI kebakaran jenggot karena merasa pihak Pemda tidak berhak merobohkan bangunan permanen di lokasi bekas stasiun. Bangunan-bangunan permanen yang dibangun oleh pemilik uang dan disewakan dengan harga tinggi. Meski sejak awal kabarnya Pemda sudah memperingatkan untuk tidak membangun bangunan permanen, karena tak sesuai dengan peruntukan.
Pihak pedagang meriang, pihak Pemda dan PT KAI saling menantang sampai melontarkan pertanyaan untuk menempuh jalur hukum. Â Para politisi menari kegirangan, tahun politik kesempatan untuk menggoreng issue. Alasan pasar darurat tak mampu menampung, alasan pasar darurat sepi, alasan pasar darurat tak represitatif.
Keinginan Pemda untuk  merevitalisasi pasar-pasar tradisional malah terganjal di pasar induk.
Lambat laun pasar tradisional akan tergerus bila kondisinya masih semrawut apalagi jorok. Pasar tradisional harus segera menyesuaikan karena kompetisi dengan pasar modern tak bisa dihindarkan. Kalau tidak bisa beradaptasi dan hanya memikirkan kepentingan sesaat pasti akan mati dengan sendirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H