Masjid ini sering disebut masjid odotan, dimana masjid ini adalah cikal bakal masjid pondok pesantren Tegalsari milik kyai Ageng Mohammad Besari yang dihadiahkan pada puteranya kyai Mohammad Iskak.
Pada waktu pindahan 'molo', kayu  utama pada atap kurang panjang sehingga diodot (diulur) agar bisa pas.
Ada beberapa versi cerita tentang mengapa masjid ini dipindahkan dari desa Tegalsari ke desa Coper yang berjarak 4-5 km.
Wujud kasih sayang seorang ayah pada puteranya untuk segera mandiri, jelas mbah Jemirin. Mbah Jemirin adalah warga sekitar masjid yang saban hari membersihkan masjid.
Sayang anak ditendang-tendang, benci anak ditimang-timang, katanya lagi. Kyai Mohammad Iskak muda dipaksa ayahanda untuk segera membuka pondok pesantren dan berpisah dengan ayah bundanya, jelas mbah Jemirin. Kala itu daerah coper ini terkenal tempat maksiat ceritanya, sehingga perlu perhatian ekstra tak cukup dikendalikan dari Tegalsari yang berjarak 4-5 km.
Waktu sinuwun kondur ke Surakarta, kyai Ageng Mohammad Besari mengutus Bagus Harun santrinya untuk mengawal sinuwun. Ada makna tersirat dalam kunjungan ini, pertama sinuwun mengunjungi seorang ulama. Dalam artian berguru ataupun minta masukan pada ulama, ada rasa hormat seorang penguasa pada ulama.
Di lain pihak kyai Ageng Mohammad Besari adalah seorang rakyat yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya dalam bernegara. Satu kehormatan dikunjungi yang mulia seperti sinuwun Pakubuwono II. Cerita tentang penguasa yang menghormati ulama, dan ulama yang mengamati penguasa dalam bernegara.
Sehingga tak lama berselang masjid yang bercorak Mataraman tersebut dipindahkan ke Coper ini. Dan membangun masjid baru di Tegalsari dengan corak Mangkunegaran (Surakarta). Sebagai bentuk pengakuan kedaulatan pemerintah Sinuwun yang menjadi raja Surakarta.
Masjid kuno di Ponorogo terkenal ada 2 corak Mataraman (mirip masjid Demak) dan masjid Mangkunegaran (mirip-mirip masjid Surakarta).
"Ini ranah guru, kita tak boleh menduga-duga biarlah jadi rahasia Mbah Ageng dan Sinuwun." Kata Mbah Jemirin. Seorang santri tidak boleh ikut campur urusan guru yang bersifat pribadi, merupakan adab kesopanan dan adab berguru imbuhnya.
"Dongakne pinaringan sehat ya mas..., Ben iso resik-resik masjid." Pinta Mbah Jemirin.
Mbah Jemirin mirip mbak Dullah di jaman Sunan Ampel yang mengabdikan diri untuk kebersihan masjid.
Rasa tanggung jawab pada kyai, pada guru-gurunya sewaktu mondok di pondok pesantren Coper Jetis. Bagi Mbah Jemirin guru masih ada dan sudah tiada sama saja harus tetap tawadhu.
"Tanduran wae ngerti carane matur nuwun, opo maneh manungso.." katanya. Tanaman saja tahu bagaimana cara berterimakasih apa lagi manusia yang punya akal.
"Tanduran niku sing wonten ngajenge griyo langkung sae buahipun dibanding ingkang wonten wingking griyo, tanduran niku gadah roso isin marang sing ngopeni.." Mbah Jemirin membuat perumpamaan. Tanaman yang berada didepan rumah lebih lebat dan subur dibandingkan tanaman yang dibelakang rumah. Tanaman punya rasa malu pada tuannya yang saban hari melihat dan merawatnya, katanya.
Menurut Mbah Jemirin, pondok salafiyah semakin tergerus dengan keberadaan pondok pesantren modern. Dimana pondok modern mengeluarkan ijasah sedangkan pondok salafiyah tidak. Namun begitu Mbah Jemirin mengatakan, pondok modern mencetak orang pinter, sedang pondok salafiyah melahirkan orang ngerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H