Alunan terompet melengking, dibarengi suara kendang rancak meski tiada gamelan penyerta lainnya. Asap wangi dupa mengepul menyatu dengan asap tembakau dari beberapa lelaki yang berkelesotan di lantai.
Puluhan lelaki yang duduk memutari perempuan yang sedang bersolek di depan cermin bulat. Para lelaki mesum yang dipenuhi birahi, terkagum pada perempuan pesolek.
Dupa yang ada di meja rias mengepulkan wangi melati, semakin membuat para lelaki didekatnya dirasuki nafsu birahinya.
Srimbek berdiri mengambil selendangnya, lalu menari di depan lelaki-lelaki yang mengitarinya. Lemah gemulai, terkadang gerakannya seronok, nakal memancing lelaki. Entah berapa lelaki yang bertekuk lutut di bawah ketiaknya saban hari. Petani, buruh, pejabat, atau bahkan agamawan naluri lelakinya sama.
Aku bekerja...
Aku bekerja...
Aku bekerja...atas nama hidup.
Tak perlu pembenar kebebasan tubuhku pemilik kehendak syahwat.
Aku melihat kebodohan abadi di nafsu lelaki.
Puncak spiritual yang direndahkan penyembahnya. Gusti Allah, aku berserah padaMU, dari pengakuanku ini adalah do'aku.
Aku mulai dengan lentik jariku memoles wajah topeng hari ini, menjebak pengagung nikmat syahwat dengan nama lelaki.
Anakku harus cukup, dan kenyang, Anaku harus sekolah. Anakku tak boieh iapar, Anakku harus pintar.
Duh... Gusti...
Keberadaanku adalah neraka, Rahmatilah aku.
Mungkin lelaki penikmatku beranggapan bahwa inilah surga yang terlaknat.
Srimbek adalah pelacur, pelacur yang merelakan harga diri demi niat suci anak-anaknya.
Srimbek bisu dan tuli, Srimbek melayani dengan hati bukan dengan kata-kata.
Kedai linkcoffe miliknya disulap menjadi arena, kursi dan meja didorong menepi. Srimbek dibawakan seorang perempuan muda berambut panjang, ada lelaki langganan Srimbek yang berdandan petani, penari topeng yang menceritakan pada saat akhir Srimbek melepaskan topengnya. Dia tidak malau mengakui sebagai pelacur, tidak malau melacurkan diri. Serta Robby sendiri membacakan monolognya seperti "puisi" diatas.
Begitu selesai pengunjung duduk memutar, dilanjutkan diskusi. Setiap pengunjung diberi kebebasan mengemukakan pendapat.
"Ruangan ini non AC, dilarang bawa emosi biar tidak gerah." Kata Robby membuka diskusi.
Menurut Robby, Srimbek adalah pelacur bisu tuli legendaris di Madiun tahun 70 an, sampai saat ini masih hidup dipinggiran kota Madiun. Pelacur yang menjadi pahlawan anak-anaknya, pelacur yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Monolog Teater "Srimbek" mengharap atas semua ridhlo Gusti Allah. Srimbek mengatakan pesan pada pribadi manusia bahwa sejatinya semua orang pernah melacurkan diri.
"Apakah kita bisa mengingat bahwa pelacuran itu tidak mengenal jenis kelamin, status sosial predikat seseorang, dan sebagainya." Ujar mas @maskaji_lege.
Banyak pelacur di jaman sekarang ini dan mereka bersembunyi dibalik topeng. Sok suci dan bersih kata Mohammad Herdianto. Menurutnya banyak orang yang menjadi penjilat untuk kepentingan sesaat dan merugikan kepentingan umum dan orang lain tak ubahnya seperti pelacur.
Orang yang bekerja tidak sesuai dengan nurani adalah bentuk pelacuran juga kata mas Agus. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bentuk pelacuran yang lebih ngeri dibanding dengan apa yang dilakukan Srimbek.
Aplous panjang buat pentas dadakan ini, dan berharap sering-sering diadakan. Saling berdiskusi, sambil ngopi, saling interaksi kata mas Nugroho yang juga berkompeten di dunia kopi.
Jangan keburu mengadili pada setiap apa yang terjadi, jangan mudah menyalahkan paham orang lain yang tak sepaham. Belajar memahami orang lain agar tidak gampang salah paham.
Srimbek, pelacur legendaris tak seburuk kutukan orang kebanyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H