Gamelan Baleganjur mengawali arak-arakan, suaranya khas seperti arak-arakan ngaben di Bali. Arak-arakan dalam rangka perayaan methik warga desa Glinggang Sampung Ponorogo kemarin pagi (24/3/18).
Di belakangnya ada rombongan sesepuh perpakaian adat, diikuti masyarakat yang membawa tumpeng serta hasil bumi yang akan digunakan untuk Kenduri besar.
Arak-arakan baru berhenti setelah berada di area persawahan yang ditanami padi, hampir semua padi sudah menguning siap panen.
Gamelan Balaganjur yang disuport mahasiswa ISI Surakarta menambah khidmat prosesi
Tangga bidadari, replika tempat turunnya Dewi Sri
Mereka berhenti setelah sampai pada petak sawah yang ditandai dengan tangga kembar di sisi kanan kiri pematang. Tangga tersebut menjulang terbuat dari bambu yang dibungkus dengan kain
mori (kain putih). Menurut mas Purbo Sasongko ini replika tangga bidadari, dimana Dewi Sri turun ke bumi, turun di persawahan di tugaskan oleh Tuhan untuk membantu kesuburan dan kemakmuran pertanian lewat tanaman padi.
Setelah dilakukan umbul dongo sesepuh desa menuju ke petak sawah yang sudah ditandai dengan blarak (daun kelapa) yang ditancapkan di pinggir pematang. Setelah dilakukan rapalan doa, sesepuh desa memotong tangkai padi dengan menggunakan ani-ani. Berkali-kali dihitung untuk memastikan berjumlah suwelas (11) helai.  Angka sewelas (sebelas) sebagai doa yang tak terucap, sebuah harapan mendapatkan kawelasan atau belas kasihan, pertolongan dari Tuhan.
Berjangga melakukan ani-ani sebanyak sebelas tangkai, sebagai perwujudan dosa
Srisedono dan Dewi Sri yang telah diikat dengan tali lawe digendong selayaknya bayi dan dibawa ke balai desa
Selanjutnya helaian padi tersebut diikat dengan tali lawe, dan diserahkan kepada kepala desa. Setelah diterima helain padi tersebut digendong selayaknya bayi menuju balai desa.
Tarian loro blonyo berkubang lumpur di area persawahan yang siap panen
Tarian
loro blonyo ditarikan di petak sawah sebelahnya. Ada dua pasang penari yang  bermake-up tebal seperti badut menari gemulai sampai-sampai bergumpal lumpur. Menurut mas Wisnu, tarian loro blonyo sebagai simbolis pasangan kesuburan dan kemakmuran. Seperti cerita patung (boneka) loro blonyo khas Yogyakarta dan Surakarta.Â
Menurutnya lagi ini adalah pandangan hidup orang Jawa tentang keharmonisan. Tentang kerja keras yang akan menunai keberhasilan. Tentang ketekunan yang akan lahirkan kesuksesan. Loro blonyo juga diartikan sepasang pengantin yang saling memblonyoh, saling menyayangi dan mencintai sehingga lahirkan kebahagiaan lahir batin, jelasnya lagi.
Gendurenan, buceng yang dibawa dari rumah dimakan bersama-sama
Dewasa maupun anak-anak bersuka cita mengikuti prosesi yang diakhiri Kenduri besar
Doa dipanjatkan mengawali kenduri dipimpin Modin desa (petugas agama). Warga para petani menyiapkan diri di pematang, dan kebanyakan di jalan sekitar persawahan. Mereka segera mem-porak tumpeng (membuka, memecah sekaligus membagi) yang dibawanya dari rumah. Mereka membagi pada pengunjung yang ikut menontonnya. Kebersamaan yang membuat trenyuh, mereka berbagi satu sama lainnya. Ungkapan rasa syukur karena padinya tumbuh dengan baik dan berharap panennya melimpah kali ini.
Hasil bumi dan tumpeng dipikul menuju lokasi prosesi methik
Menurut pak Budi salah satu sesepuh desa, kegiatan ini merupakan kali kedua. Pada tahun lalu juga sudah di adakan hanya saja lebih meriah kali ini katanya. Dulu warga melakukan methik sendiri-sendiri, selamatan dan kenduri sendiri-sendiri.
Berjonggo akan mendatangi sawah satu persatu, dan mengadakan prosesi methik tiap petak kepemilikan sawah.
Methik adalah istilah selamatan menjelang panen, dengan mengambil sebagian padi selanjutnya disimpan di centongan (kamar khusus).
Menurut pak Budi, dari segi biaya lebih murah dilakukan upacara methik bersama-sama seperti kali ini.
Lihat Humaniora Selengkapnya