Tempat mana yang paling banyak didatangi menjelang pilkada? Makam atau kuburan jawabnya. Entah apa tujuan mereka namun itu kenyataanya. Apapun tujuan mereka adalah hak masing-masing, itu adalah rahasia masing-masing yang punya hajat dengan Tuhannya. Begitu pula makam Raden Tumenggung Jayengrono di desa Pulung Merdiko, Pulung di kabupaten Ponorogo ini ramai di saat  begini.
Bagi orang Jawa ijin atau pamitan adalah hal yang wajib, ini merupakan unggah-ungguh, adab kesopanan, terutama kepada orang yang dihormati atau diteladani. Masih hidup ataupun sudah meninggal bagi mereka sama, orang tua, guru, atau panutan akan selalu terpatri dalam hati. Itu penjelasan pak Waji peziarah dari Madiun yang kebetulan bertemu di masjid Jayengrono minggu kemarin. Menurutnya menghormati beliau tiada batas, ikatan batin sangatlah kuat, doa yang dipanjatkan dalam ziarah adalah cara mereka untuk saling mengasihi, menyayangi, menghormati.
Menurut sejarah, Raden Tumenggung Jayengrono adalah putera  Raden Mas Sasangka atau Adipati Harya Metaun adipati di Jipang (Bojonegoro). Beliau masih trah dari Sunan Pakubuwono dari garwo selir. Beliau menyamar dari kebangsawananya, bergabung menjadi rakyat biasa di desa Kranggan Sukorejo wilayah Ponorogo tepatnya pada tahun 1696. Di desa tersebut beliau membantu keamanan desa yang kala itu rawan.Â
Pada saat Sunan Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo beliau melewati desa Kranggan, di situlah Jayengrono bertemu dengan Sunan Pakubuwono. Pembawaan Jayengrono yang halus dan berbudipekerti membuat sang sunan memintanya untuk nderekne (mengawal,ikut serta). Sang sunan yakin kalau Jayengrono keturunan bangsawan. Jayengronopun nderekne sang sunan yang bertirakat sambil dalam pelarian di daerah Pulung, Sawoo, Bayangkaki, Tegalsari, Menang, sampai kondur merebut tahtanya kembali.
Sebagai hadiah tahun 1745 Jayengrono diberi jabatan bupati dan mendapat gelar tumenggung. Bupati Ponorogo Raden Surobroto lalu mempersilahkan Tumenggung Jayengrono memilih sendiri tempat yang akan menjadi wilayahnya untuk membuka lahan. Daerah tersebut sekarang menjadi daerah Siman, Mlarak, dan Pulung. Kala itu bernama kabupaten Pedanten yang berpusat di daerah Patihan Kidul Siman.
Tumenggung Jayengrono orang yang ahli beragama, bertirakat, dan halus budi pekertinya, baik turut katanya, menggurangi dahar dan sare (makan dan tidur), selalu bekerja siang malam. Orang jawa menyebutnya apambeg pandita halus selayaknya pendeta. Beliau juga dikenal sebagai Kyai Sambang Dalan, karena setiap malam suka berpatroli seorang diri meneglilingi wilayahnya.
Banyak mitos yang berkembang di makam beliau, siapa saja yang yang dimakamkan di komplek makan ini kalau bukan keturunan Tumenggung Jayengrono malam harinya akan muncul macan yang akan menggali dan mengeluarkan jasad orang yang baru dikubur tersebut.
Peziarah harus berjalan dodok, memakai lutut menapaki tangga-tangga makam sampai area pusara. Namun sekarang sudah jarang dilakukan dari bawah, hanya di daerah dalam pagar. Menurut pak Rukun ii bentuk penghormatan pada beliau, namun sekarang juga jarang dilakukan.
Pencuri yang mencuri di makam ini akan menjadi gila atau bingung, pernah dulu ada yang mencuri pohon cendana yang berada dalam komplek makam ini dengan menebangnya, si pencuri semalaman hanya berputar saya di dalam makam. Pernah juga beberapa kali kotak amal makam dicuri, namun lagi-lagi pencuri seperli orang linglung dan membawanya kembali kotak amal yang terbuat dari besi mirip peti.