Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bukan Jurnalis tapi Senang Menulis

29 Oktober 2017   23:56 Diperbarui: 30 Oktober 2017   07:55 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awalnya acuh ketika mendapat pesan lewat inbox FB untuk memberikan materi tentang foto jurnalistik. Selain tidak berkompeten pada bidang tersebut, juga belum pernah bicara dihadapan orang banyak selain di bidang kesehatan yang menjadi bagian pekerjaan saya sehari-hari. Serasa tidak masuk akal mengapa mereka memilih saya untuk melakukan hal itu? Kami tidak saling mengenal, mereka hanya baca dari FB saya.

Mereka terus merayu saya untuk bersedia, merekapun mengirimkan undangan resmi via email dan WA meski saya sudah berusaha menolak. Mereka mahasiswa dan mahasisiwi IAIN Ponorogo yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Millah RM  IAIN Ponorogo. Bukan siapa mereka tapi tempat dalam undangan yang membuat saya bertekuk lutut, tempat kegiatan tersebut diadakan di 'Ndalem Ageng Kyai Mohamad Besari' di Tegalsari. Tempat yang buat orang Tegalsari ataupun Ponorogo sangat dihormati. 

Rumah kediaman kyai besar yang tersohor, rumah yang pernah ditempati para santri terkenal seperti RM Ronggo Warsito, RM Bagus Harun. Rumah yang pernah disinggahi oleh sinuwun Pakubuwono II ketika mengungsi dalam pelarian. Rumah yang sampai saat ini masih begitu dihormati dan tidak sembarang orang bebas keluar masuk.

Ndalem Ageng Kyai Mohammad Besari yang bersejarah | Foto koleksi pribadi
Ndalem Ageng Kyai Mohammad Besari yang bersejarah | Foto koleksi pribadi
Ndalem Ageng Kyai Mohammad Besari tampak muka | Foto koleksi pribadi
Ndalem Ageng Kyai Mohammad Besari tampak muka | Foto koleksi pribadi
Mendapat undangan ditempat tersebut sama halnya diperintah oleh kyai atau ulama, bukan lagi undangan. Tiada kata lain harus berangkat, tanpa alasan apapun. Sebagai santri ibarat serdadu, tugasnya menjalankan perintah. Sejak kecil saya diajarkan tentang adab dan dikenalkan tempat tersebut (komplek makam, masjid, dan ndalem) oleh guru saya. Ini sama saja mendapatkan perintah guru.

Siap!!!

Akhirnya mengiyakan dan akan hadir dan mau tidak mau harus mempersiapkan materi yang mereka minta untuk disampaikan. Sekali lagi bingung tentang draf materi foto jurnalistik, karena bukan pada bidang saya. Lebih siap kalau diminta mengisi tentang masalah kesehatan. Dalam perjalan ke masjid Tegalsari mampir warung dengan tujuan membuat powerpoint untuk persentasi.

Luar biasa adik-adik mahasiswa-mahasiswi sudah menunggu, tapi saya menuju tempat wudu dan masjid baru menuju rumah bucu (joglo) yang berada di timur masjid. Moderator langsung meyilakan saya untuk duduk di depan.

Saya katakan kalau panitia salah kalau mengundang saya untuk memberikan materi foto jurnalistik.

"Saya bukan jurnalis, tapi saya seneng nulis" kata saya mengawali perkenalan, mengutip selogan Kriko. Seharusnya kata itu membuat peserta kecewa karena bukan yang diharapkan, namun sambutan bertambah seru. Keringat dingin mengucur, perasaan grogi, canggung, haru, bangga menjadi satu.

Saya jelaskan apa itu fotografi, foto jurnalis, dan jenis-jenisnya beserta contoh-contohnya yang saya screenshoot dari tulisan saya di Kompasiana setengah jam sebelum menuju tempat memberikan materi.

"Untuk apa foto-foto jurnalis itu buat adik-adik?" tanya saya. Rugi kita punya banyak koleksi foto tapi hanya menghiasi handphone ataupun hard disk. Rugi kita berburu foto dengan kamera mahal kalau hanya kita simpan tanpa bisa dinikmati orang lain. Betapa bahagianya apa yang kita punya dan kita dapatkan bisa berguna, membuat orang lain senang, bahkan menginspirasi orang lain, jelas saya. Saya bukakan contoh-contoh tulisan saya yang saya tuangkan di Kompasiana.

Topikpun berganti dari fotografi menjadi menulis, saya berhasil mengalihkan isu pembicaraan. Peserta semakin antusias terlebih beberapa peserta sudah mulai membuka IG, FB dan akun Kompasiana milik saya. Dari situ mereka mulai tahu kebiasaan dan hobi saya.

Saya ceritakan motret itu biasa anak kecil saja bisa, begitupun nulis juga biasa anak TK saja bisa. Yang luar biasa kalau kita bisa motret sekaligus bisa menulis. Menulis apa yag kita potret, atau sebaliknya memberikan potret pada tulisan kita.

Pada sesi tanya jawab, luar biasa hampir separuh mereka berebut bertanya. Bagaimana mengawali nulis, bagaimana tulisan yang bisa dimuat di Kompasiana, bagaimana membuat akun di Kompasiana, bagaimana tentang plagiat, bagaimana kalau tulisan kita dikomplain pembaca, bagaimana ada yang membaca tulisan kita, bagaimana kita bisa menulis dan dipilih oleh admin sebagai tulisan yang layak, bagaimana membagi waktu antara pekerjaan dan waktu untuk menulis ataupun memotret.

Satu per satu saya jawab langsung. Saya ajari buka akun Kompasiana, gampang bisa lewat email ataupun akun FB. Untuk awal menulis pelajari tentang peraturan menulis yang ada di Kompasiana, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh begitu pula foto yang dicantumkan.

Anggap saja Kompasiana adalah buku harian kita, tulis apa saja asal tidak melanggar konten. Anggap saja Kompasiana adalah ibu ataupun sahabat dekat yang kita curhati kapan saja dan dimanapun kita berada. Anggap saja Kompasiana adalah gudang penyimpanan segala suka duka kita, yang kapan saja bisa kita buka untuk nostalgia. Ada beberapa kanal di Kompasiana terserah suka yang mana, atau bebas sesuai apa yang akan ditulis. 

Jangan menulis SARA atau politik dulu saran saya bila kita tak cukup ilmu untuk itu, intinya jangan mengundang kontroversi. Yang suka galau dan suka caption tulisan-tulisan yang selama ini ditaruh di FB dan IG bisa dialihkan di kanal Fiksiana, imbuh saya. Tulisan reportase harus jujur, pahami kaidah tulisan ataupun foto yang melanggar terutatama soal pornografi, asusila dan kekerasan.

Bagaimana bisa menulis dan bisa dibaca banyak orang? Banyak membaca, dan pelajari tentang tulisan yang banyak dibaca orang. Untuk awal jangan terlalu banyak berharap dulu, tapi rajinlah banyak membaca terutama apa yang banyak dibaca orang.

Semakin siang semakin seru, untung saja suara orang sholawatan di masjid Kyai Ageng Besari sudah terdengar melalui speaker masjid. Pertanda 15 menit lagi kumandang adzan dhuhur, ini yang menolong saya dari serbuan pertanyaan adik-adik peserta pelatihan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Millah RM  IAIN Ponorogo. Saya berjanji bila diperlukan kapan saja bisa menularkan apa yang saya punya, bahkan kalau perlu nanti saya menghubungi pihak Kompasiana khusus datang ke kampus untuk memberikan pelatihan khusus tentang tulis menulis dan fotografi jurnalistik.

notulen, luar biasa merekam apa yang saya sampaikan
notulen, luar biasa merekam apa yang saya sampaikan
moderator sekaligus notulen luar biasa membawakan acara, salut
moderator sekaligus notulen luar biasa membawakan acara, salut
Satu hal yang menarik ketika notulen membacakan kesimpulan di antaranya :
  • Foto itu tanpa dipublikasi hampa
  • Tulisan tanpa foto kurang mengena
  • Seorang jurnalis itu tak hanya pintar memotret, tapi harus pintar menulis
  • Seorang jurnalis harus tajam nalurinya, harus cepat membaca persoalan, harus bisa merepresentasikan hasil peristiwa yang direkamnya
  • Foto jurnalis sering didapatkan dari peristiwa yang tak terduga.
  • Foto jurnalis mampu berbicara beribu makna sehingga pesan mampu ditangkap oleh para pembaca
  • Jurnalis foto tidak perlu ribet mengatur setting-an kamera, setting otomatis. Momen akan terlewatkan bila terlambat
  • Seorang jurnalis menyukai perjalanan karena beribu momen indah dan unik akan hadir dengan cuma-cuma jika mampu memanfatkan
  • Jika anda ingin melihat luasnya dunia maka membacalah
  • Jika anda ingin dikenang dunia maka menulislah

screnshote undangan
screnshote undangan
terima kasih atas kepercayaannya
terima kasih atas kepercayaannya
Luar biasa semangat mereka, dalam hati saya berjanji akan siap kapan saja bila diperlukan. Beribu cara ulama dan aulia untuk memerintahkan untuk berbagi, tak ada sesuatu yang tiba-tiba iklas, ikhlas itu harus dipaksa dan dibiasakan pesan guru saya yang telah tiada. Matur sembah nuwun Kyai Ageng Mohammad Besari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun