Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iqro', Kita Kurang Membaca dan Mendengar

22 Agustus 2017   21:25 Diperbarui: 22 Agustus 2017   22:14 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Isjed dan Mas Robby, sama-sama besar dari pesantren. yang satu pesantren modern sedang satunya pesantren salafiyan


Jam 11 malam untuk kota kecil seperti Ponorogo bisa dibilang sudah larut untuk melakukan pertemuan. Terlebih udara di bulan Agustus terbilang ekstrim, bediding istilah orang Ponorogo udara dingin di bulan Agustus. Sorenya dikabari bila mas Iskandar Zulkarnaen (Isjet) akan mengunjungi Pondok Modern Gontor, sebelum menuju Gontor mengajak ketemuan dahulu.

Sekitar jam 11 malam mas Isjet tiba di Ponorogo, lewat telepon mas Isjet sudah menunggu di masjid jamik barat alun-alun Ponorogo. Meski malam sudut-sudut kota Ponorogo sudah familiar baginya yang dulu mondok di Gontor Ponorogo. Mungkin Ponorogo menjadi salah satu kota yang berkesan buat mas Isjet, Ponorogo Adalah Rindu kata orang Ponorogo.

Kesempatan ini tidak saya sia-siakan, segera saya menghubungi mas Nanang ES yang juga kompasianer. Di luar dugaan dalam rombongan mas Nanang ada pak Tedjo pendiri Sekolah Literasi Gratis (SLG) dan teman teman dari STKIP PGRI Ponorogo mahasiswa pak Tedjo. Link Caf, milik mas Robby menjadi jujugan.Luar biasa sebentar kemudian datang mas Dimas Nur, Kompasianer lama yang aktif dalam sinemagrafi. Disusul mas Jakob penggagas perpustakaan jalanan.

Taka ada yang formal yang dibicarakan, semua mengalir begitu saja. Saling bercerita, saling saling bercanda, saling berbagi pengalaman. Latar belakang pendidikan, pekerjaan, bahkan agama bukan halangan bagi kami untuk berbincang tentang literasi. Perbedaan tersebut malah menjadikan pengalaman baru untuk saling melengkapi. Mas Iskandar Zulkarnaen yang berasal dari pesantren modern, mas Robby yang berlatar belakang pondok salafiah, pak Tedjo yang dari praktisi pendidikan, mas Dimas Nur yang sineas dan budayawan, begitu pula saya dan teman-teman yang hadir lainya.

"Iqro.... Kita kurang membaca bahkan tidak mau membaca....."kata pak Tedjo, menurutnya situasi sekarang ini orang cenderung egois. Tidak mau membaca dengan artian terlalu acuh bahkan egois, maunya dimengerti tapi tidak mau mengerti. Orang cenderung tak mau mendengar namun maunya didengar. Hal ini yang menyebabkan orang atau kelompok merasa paling benar dan paling baik sendiri, imbuhnya. Situasi seperti ini tentu tidak baik untuk hidup berorganisasi, pertemanan, keluarga, bahkan bernegara.

Mas Isjed dan Mas Robby, sama-sama besar dari pesantren. yang satu pesantren modern sedang satunya pesantren salafiyan
Mas Isjed dan Mas Robby, sama-sama besar dari pesantren. yang satu pesantren modern sedang satunya pesantren salafiyan
Mas Isjet menambahi, jaman medsos sekarang ini orang cenderung malas membaca. Membaca cenderung pilih-pilih.

"Membaca hasil perahan bacaan orang...." kata mas Isjet, orang membaca lalu disimpulkan dengan keterbatasan kemampuannya, atau dengan asumsinya, bahkan dengan segala kepentinganya lalu di share lewat media sosial yang sudah berbeda dengan bacaan aslinya. Dan berkecederungan hoax dan sampah, imbuhnya.

Hoby menulis juga harus dibarengi hoby membaca, kata mas Robby pemilik Link cafe. Membaca apa saja tak hanya melulu membaca buku. Baginya alam adalah hamparan buku yang tak akan pernah kehabisan memberikan ilmu.

"Jangan alergi membaca topik yang lain, sesekali keluar dari zona nyaman...." kata mas Robby untuk menghindari hidup yang monoton dan tidak gampang menyalahkan orang lain. Belajar mengerti alasan mengapa orang lain atau kelompok lain melakukan sesuatu, sehingga tidak keburu mengkafirkan. Membaca dahulu sebelum berbicara, mendengar dulu sebelum menulis katanya.

Berbudaya, beragama, dan bernegara adalah satu hal yang saling keterkaitan kata Dimas Nur. Tapi seringkali orang dari biground agama menganggap budaya adalah bid'ah bahkan musrik, system bernegarapun masih diutak-utik seakan lupa sejarah negara ini dibentuk, imbuhnya. Ini perlunya banyak membaca dan banyak mendengar kata Dimas Nur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun