“Bener-bener wis kudu iso ngeculne kadonyan, aku gak melu tareqat tapi wit cilik omahku mesjid kene.” Tutur Mbah Marwiyah. Mereka benar-benar harus bisa melepas keduniaan meski mereka masih berada di dunia, kata mbah Marwiyah meski dia sendiri tidak ikut tareqat namun masjid ini sudah seperti rumana sendiri.
“Melu tareqat yen gak kuat iso edan mergo jik kadonyan, wong tarekat pengin ngedan sak benere kedanan Gusti Allah.” Kata mbah Marwiyah. Ikut tareqat kalau ndak kuat bisa gila karena masih dibelenggu keduniawian, namun begitu orang tareqat ingin gila yang sebenarnya, gila pada Gusti Allah penciptanya dan tuhan yang kelak akan ditujuannya.
Menurutnya lagi kalau sudah 10 hari diadakan syukuran selamatan, dan para jamaah pulang kembali ke rumahya masing-masing. Kembali ke rutinitas kembali.
“Wis tuwo ngeneiki arep nyapo maneh mas… anak wis do keluarga, pangan wis dicatu pemerintah wujud pensiunan..” berkata sambal merebahkan diri di lantai. Dan sebentar kemudian mbah Sakat benar-benar terlelap dan tangannya masih menggengam tasbih.
Sebentar kemudian lagi bangun dan segera mengambil air wudlu, dia sempat mengatakan bahwa kewajiban seorang murid adalah melaksanakan perintah guru, melanjutkan apa yang menjadi tradisi guru, meski guru tersebut sudah tiada. Ada dan tiada tetaplah sama, tetap tawaduk.
*) Selamat menjalankan Ibadah Ramadan 1438
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H