Luar biasa bangunan zaman Belanda itu masih kokoh berdiri. Kesan megah dan berwibawa selintas perpaduan arsitek Eropa dan Jawa khususnya Jawa tengahan.
Benar kata pak Udiono arsitektur atau bangunan merupakan cerminan dari kebudayaan. Dari karya arsitektur kita dapat mengetahui latar belakang budaya satu bangsa.
Tata ruang Lawang Sewu jaman tersebut sudah dirancang dari segi keamanan, kenyamanan, bagi penghuninya. Banyaknya pintu selain sebagai aksesoris juga sebagai akses kemudahan keluar masuk, bahkan bila hal terjelek seperti bencana terjadi proses evakuasi dipermudah.
Dari museum kereta api yang ada di Lawang Sewu ini saya bisa memahami apa yang diceritakan pak Udiono. Belanda kala itu sudah punya sudut pandang jauh ke depan dalam soal masa depan transportasi Indonesia.
Jalan raya utama dari Anyer sampai Panarukan, jalur kereta yang sekarang ada tak luput dari peninggalan Belanda seperti cerita pak Udiono.
Selain panel-panel, foto stasiun tempo dulu, lampu signal dan palang bisa kita temukan Lokomotif uap tua berseri C 2301 yang konon dibuat pada tahun 1908 ini. Dulu loko tua ini dioperasikan melayani rute antara Semarang – Jatirogo, dan Semarang – Blora hingga tahun 1980.