Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Udiono, Lawang Sewu, dan Indonesia yang Terburu-buru Merdeka

30 Januari 2017   15:54 Diperbarui: 30 Januari 2017   17:18 1718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pintu tinggi dan berdaun pintu ganda, ciri khas bangunan Belanda di Indonesia

Kampung kopi Banaran mempertemukan saya dengan pak Udiono. Pensiunan pegawai PJKA (PT KAI) yang sudah berusia 78 tahun namun masih berapi-api kalau bercerita. Ingatannya tentang sejarah masa silam luar biasa hapal. Rasa pahitnya kopi Banaran tak sebanding dengan cerita-cerita pak Udiono untuk mengusir rasa kantuk saya. Mendengar antusias ceritanya tanpa kopi pun hilang rasa kantuk yang sedari Boyolali mendera.

Cerita tentang kopi Banaran yang melegenda, cerita tentang Salatiga, Semarang dan Ambarawa. Cerita tentang perkebunan yang membuat Belanda kala itu berupaya untuk mempertahankan daerah jajahannya. Cerita tentang Belanda yang membangun infrastruktur untuk kepentingan kependudukannya di Indonesia.

Cerita bagaimana Belanda mempertahankan dan membangun daerah segitiga emas Jogja, Solo dan Semarang (Joglosemar) karena daerah ini pusat perekonomian, penghasil komiditas pertanian penting seperti kopi, teh, dan coklat. Sehingga Belanda memberikan prioritas pembangunan infrastruktur, bangunan, jalan sampai prioritas jalur kereta api, terang pak Udiono dengan bangga bercerita tentang kereta api tempo dulu.

ikon kota Semarang. Dokumentasi pribadi
ikon kota Semarang. Dokumentasi pribadi

“Indonesia tergesa-gesa merdeka mas, coba kalau mau bersabar sedikit...” ucap pak Udiono lirih. Seperti ditampar, membuat saya tercengang gelagapan dengan kata pak Udiono barusan. Dikala semua orang rindu kemerdekaan tapi pak Udiono mengatakan sebaliknya.

Saya hanya diam tak bisa berkata sambil menunggu penjelasan lebih lanjut dari pak Udiono.

Dua mata sisi uang, penjajah menjarah disisi lain meletakan pondasi sejarah lanjut pak Udiono. Mungkin saja kalau Indonesia bersabar 20 an tahun lagi merdekanya situasi infrastruktur pasti sudah mapan, katanya lirih. Sembari minta maaf pak Udiono terus bercerita, beliau miris dengan situasi sekarang ini yang tingkat kedisiplinan dan kebersamaan jauh dibanding zaman penjajahan dulu.

“Keberadaan sepur kalau itu mengajarkan pada bangsa ini untuk disiplin, hidup selalu terjadual, terencana, dan perhitungan..” katanya lagi.

“Mas mumpung jalan di Semarang, luangkan waktu mampir di Lawang Sewu, di sana njenengan bisa saksikan apa-apa yang saya ceritakan tadi.” Kata pak Udiono.

Penasaran dengan cerita pak Udiono saya langsung menuju lokasi Lawang Sewu.

kemegahan arsitektur Lawang Sewu. Dokumentasi pribadi
kemegahan arsitektur Lawang Sewu. Dokumentasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun