Kampung kopi Banaran mempertemukan saya dengan pak Udiono. Pensiunan pegawai PJKA (PT KAI) yang sudah berusia 78 tahun namun masih berapi-api kalau bercerita. Ingatannya tentang sejarah masa silam luar biasa hapal. Rasa pahitnya kopi Banaran tak sebanding dengan cerita-cerita pak Udiono untuk mengusir rasa kantuk saya. Mendengar antusias ceritanya tanpa kopi pun hilang rasa kantuk yang sedari Boyolali mendera.
Cerita tentang kopi Banaran yang melegenda, cerita tentang Salatiga, Semarang dan Ambarawa. Cerita tentang perkebunan yang membuat Belanda kala itu berupaya untuk mempertahankan daerah jajahannya. Cerita tentang Belanda yang membangun infrastruktur untuk kepentingan kependudukannya di Indonesia.
Cerita bagaimana Belanda mempertahankan dan membangun daerah segitiga emas Jogja, Solo dan Semarang (Joglosemar) karena daerah ini pusat perekonomian, penghasil komiditas pertanian penting seperti kopi, teh, dan coklat. Sehingga Belanda memberikan prioritas pembangunan infrastruktur, bangunan, jalan sampai prioritas jalur kereta api, terang pak Udiono dengan bangga bercerita tentang kereta api tempo dulu.
“Indonesia tergesa-gesa merdeka mas, coba kalau mau bersabar sedikit...” ucap pak Udiono lirih. Seperti ditampar, membuat saya tercengang gelagapan dengan kata pak Udiono barusan. Dikala semua orang rindu kemerdekaan tapi pak Udiono mengatakan sebaliknya.
Saya hanya diam tak bisa berkata sambil menunggu penjelasan lebih lanjut dari pak Udiono.
Dua mata sisi uang, penjajah menjarah disisi lain meletakan pondasi sejarah lanjut pak Udiono. Mungkin saja kalau Indonesia bersabar 20 an tahun lagi merdekanya situasi infrastruktur pasti sudah mapan, katanya lirih. Sembari minta maaf pak Udiono terus bercerita, beliau miris dengan situasi sekarang ini yang tingkat kedisiplinan dan kebersamaan jauh dibanding zaman penjajahan dulu.
“Keberadaan sepur kalau itu mengajarkan pada bangsa ini untuk disiplin, hidup selalu terjadual, terencana, dan perhitungan..” katanya lagi.
“Mas mumpung jalan di Semarang, luangkan waktu mampir di Lawang Sewu, di sana njenengan bisa saksikan apa-apa yang saya ceritakan tadi.” Kata pak Udiono.
Penasaran dengan cerita pak Udiono saya langsung menuju lokasi Lawang Sewu.
Luar biasa bangunan zaman Belanda itu masih kokoh berdiri. Kesan megah dan berwibawa selintas perpaduan arsitek Eropa dan Jawa khususnya Jawa tengahan.
Benar kata pak Udiono arsitektur atau bangunan merupakan cerminan dari kebudayaan. Dari karya arsitektur kita dapat mengetahui latar belakang budaya satu bangsa.
Tata ruang Lawang Sewu jaman tersebut sudah dirancang dari segi keamanan, kenyamanan, bagi penghuninya. Banyaknya pintu selain sebagai aksesoris juga sebagai akses kemudahan keluar masuk, bahkan bila hal terjelek seperti bencana terjadi proses evakuasi dipermudah.
Dari museum kereta api yang ada di Lawang Sewu ini saya bisa memahami apa yang diceritakan pak Udiono. Belanda kala itu sudah punya sudut pandang jauh ke depan dalam soal masa depan transportasi Indonesia.
Jalan raya utama dari Anyer sampai Panarukan, jalur kereta yang sekarang ada tak luput dari peninggalan Belanda seperti cerita pak Udiono.
Selain panel-panel, foto stasiun tempo dulu, lampu signal dan palang bisa kita temukan Lokomotif uap tua berseri C 2301 yang konon dibuat pada tahun 1908 ini. Dulu loko tua ini dioperasikan melayani rute antara Semarang – Jatirogo, dan Semarang – Blora hingga tahun 1980.
Luar biasa cerita pak Udiono, tentunya beliau bukannya senang dijajah. Tapi beliau bisa mengambil sisi positif dari jaman penjajahan, seperti kedisiplinan, dan tata ruang, tata bangunan yang oleh penjajah sudah dipersiapkan begitu detail.
Mohon maaf bila cerita dari pak Udiono kurang berkenan, ada pelajaran berharga bagi saya pribadi dari pak Udiono. Terima kasih pak Udiono.
*) Am_Pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H