Hujan baru saja reda, menyisakan rintik hujan dan genangan air di lorong-lorong pasar. Jarum jam masih menunjukan jam 3 pagi namun hiruk pikuk kesibukan pedagang dan pembeli di pasar Songgolangit sangat terasa tanpa menghiraukan dinginnya udara sehabis hujan.
“Ngantar belanja mas?” tanya lelaki yang memarkir motor di dekat motor saya.
Saya menggelengkan kepala tidak mengiyakan apa yang dia tanya, karena saya baru saja pulang dari luar kota bermaksud membeli secangkir kopi di sekitar pasar Songgolangit untuk mengusir dingin.
“Mas ngantar belanja?” tanya saya pada lelaki yang memiliki nama Fauzi tersebut.
“Ngantar istri mas, saban jam segini tugas saya mengantar belanja dan menunggu di sini, nanti kalau istri sudah selesai belanja saya di kabari baru saya membantu mengangkati barang belanjaan.” Jawab Fauzi.
Akhirnya kami berdua ngobrol di warung kopi yang berada di pingir jalan komplek pasar, bercerita panjang lebar tentang pasar. Luar biasa Fauzi sangat mengenal sudut-sudut pasar Songgolangit, menurutnya kenal orang pasar itu menyenangkan. Dari ngobrol tersebut akhirnya saya tergoda untuk menikutinya masuk ke dalam pasar mengambil hasil belanjaan istrinya.
"Di pasar tradisional begii kita langsung ketemu ownernya langsung." kata Fauzi, membuat saya mengernyitkan dahi.
"Wakakakakaka kalau di pasar modern kita dilayani oleh jogosnya, di sini langsung pemiliknya.." lanjut Fauzi sambil tertawa. Benar adanya orang lebih senang bertemu langsung dengan pemiliknya atau sumbernya langsung. Seringkali kalau kita belanja dalam partai besar selalu mina dipertemukan dengan bosnya langsung, seringkali anak buahnya nakalan mengambil untung bahkan memepermainkan harga, jelas Fauzi.
“Pedagang tradisional harus pintar spekulasi karena media penyimpanan tak secanggih dan selengkap pasar modern.” Kata Fauzi. Menurutnya barang dagangan harus sekali habis hari itu, kalau tidak habis akan rusak. Atau harus keluar ongkos angkut yang doble sehingga merugi. Pedagang harus bisa mengira-ngira seberapa dagangannya laku pada hari itu. Beda dengan pasar modern yang dilengkapi penyimpanan dingin dan gudang sehingga pemiliknya tak perlu kawatir bila dagangannya tidak habis. Di sinilah keuntungan berbelanja di pasar tradisional, barang dagangan masih segar dan baru.
Pedagang harus pintar membaca musim, seperti bulan-bulan begini musimnya orang punya hajatan temanten. Kebutuhan untuk selamatan perlengkapan orang punya gawe yang paling laris dan dicari. Mulai dari bahan dapur sampai pernak-pernik upacara adat pengantin. Seperti mbak Paenah penjual pisang, dia membawa pisang dua kali lipat dari hari biasanya. Pisang raja menjadi barang penting untuk upacara adat temanten pada adat Jawa, harus ada. Pada situasi barang sulit berapapun harganya pasti dibeli, menurutnya. Dia juga harus pandai-pandai menyiasati, kapan pisangnya harus matang dan kapan pisangnya harus menunda kematangannya. Dia punya tehnik sederhana dengan mengangin-anginkan agar bisa menunda kematangan pisangnya.
Begitu pula mbak Parti harus jeli untuk mendapatkan ikan tongkol dia punya tips untuk memilih ikan. Kalau salah ikan tidak bisa dimasak alias busuk. Ikan di pasar tradisional menurutnya lebih fresh tanpa pengawet dan tanpa pendingin yang berlebihan. Barang tidak sebanyak di pasar modern, saat itu juga ikan harus habis. Dia lebih memilih membeli agak siangan sedikit menjelang pasar tutup karena harganya lebih murah dibanding awal-awal pasar buka.
"Ikan tongkolnya 7 reyek, per reyek 6 ribu..." Kata penjual ikan tongkol, sambil menerima uang 50 ribuan. Bukannya segera memberikan kembalian namun si penjual masih memenceti kalkulator, sehingga kena protes pembeli.
"Oalah pak 50 ribu dikurangi 42 ribu kok pakai kalkulator segala..." Protes perempuan pembeli itu sewot.
Perempuan tadi sambil menerima kembalian sambil ngomel-ngomel, perlu pelajaran sempoa pada orang pasar gerutunya.
Gampang untuk menemukan bos bank thitil, pakaiannya.menyolok, dengan perhiasan yang banyak, selalu bawa buku kecil, tas dan pastinya dikerumuni orang banyak seperti gambar di atas.
"Nitip ya yu..." kata pedagang cabai tersebut kepada pedagang tempe di sebelahnya.
"Yo wis tinggalen, Kowe disiko mengko gentian..." jawab penjual tempe, memersilakan penjual cabai untuk sholat subuh lebih dulu dan nanti gantian menjaga.
Beda lagi dengan mbak Widyaningrum, dia selalu menyempatkan sholat jamaah di masjid pasar untuk subuh, meski di dekat rumahnya ada masjid besar. Menurutnya sholatnya terasa mantap sholat jamaah di pasar.
"Doa anak yatim, doa orang teraniaya, dan pedagang jujur yang cepat dikabulkan Alloh.." katanya. Bukan dia kyai, pejabat, orang pintar namun itu yang ada di hadis imbuhnya. Dia suka sholat di masjid pasar karena yang menjadi imam sholat adalah pedagang yang sudah naik haji yang dikenal jujur.
Mistis, di pasar tradisional masih berpegang pada mistis. Banyak hal yang tidak masuk akal tapi masih dijalankan sampai saat ini.
Pembeli pertama adalah penglaris atau dalam pasar Bali garus. Ini cara memperlakukan pembeli pertama, mengalah pada pembeli, tidak boleh dihutang, uang harus berusaha pas tidak ada kembalian. Menyakiti pembeli pertama diyakini akan membawa sial untuk pembeli selanjutnya.
Setelah dibayar, uang dari pembeli pertama tersebut dikibas-kibaskan pada dagangannya, sambil mengucap Laris... Laris... . Kalau orang Bali garus ... garuuus....
Di pasar tradisional masih dipercaya adanya Tuyul berkeliaran sehingga kotak uang para pedagang diberi semacam ajimat yang didapatkan dari dukun atau kyai. Persaingan bisnis juga luar biasa antar pedagang, untuk itu para pedagang mendatangi orang pintar untuk menghindari hal-hal yang bisa membahayakan.
Kisah sukses pedagang bisa dilihat atau didapat dari cerita yang bersangkutan, sedang di pasar modern di dapat dari media. Seringkali orang yang sukses di pasar tradisional menularkan cara kesuksesan pada pembeli atau rekannya tanpa takut ditiru caranya, rejeki sudah ada yang mengatur katanya.
Butuh nyali untuk belaja di pasar tradisional untuk tawar menawar, harga yang ditawarkan biasa pembeli menawar dari harga 50% yang ditawarkan, dan biasanya barang dilepas pada kisaran harga 60%. Sebenarnya syah saja menawar dari 10% namun sudah menjadi rahasia umum kalau kisaran harga segitu. Tapi seringkali semakin pintar menawar semakin mendapat harga yang murah. Hal ini tidak bisa di dapatkan di pasar modern.
Orang-orang rela berdesak-desakan, berbecek-becek, berbau-bau untuk datang ke pasar tradisional. Mungkin hal-hal diatas alasannya, dan tidak bakalan ditemukan di pasar modern. Hal ini pula alasan mengapa Hari Pasar Rakyat Nasional perlu dicanangkan
*) Am_Pm
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI