Asap ratus (dupa) yang dibakar pada anglo membumbung ke udara bersamaan dengan itu perlahan wangi ratus India tersebut menyebar sampai area penonton. Lelaki perparas cantik tersebut masih bersimpuh dan mulutnya terus komat-kamit membaca mantra. Suaranya parau, melas, suatu kepasrahan dan ketiadaberdayaan agar dibelaskasihi.
“Tan bisa ngungkuli garising pesti ...pasrah jiwo mring Hyang Maha Kuoso.... tindak suci adeg dasar ati, linambaran kitab ing Ilahi....” Lelaki cantik tersebut membaca mantra sambil menabur ratus pada perapian anglo kecil di depannya.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar seperti orang kesurupan “Bopo... aku wis trimo rogoku kok udo roso.... enggal bopo....”
Mungkin kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia permintaan pada lelaki dewasa kalau peminta sudah siap jiwa raga untuk digauli. (#maaf)
Gerakannya seperti tidak terkendali dan terus bergetar mirip orang kerasukan. Sebentar kemudian tubuhnya lunglai dan sayup-sayup suara beberapa lelaki dewasa sedang terdengar saling bersendau gurau pamer gemblaknya masing-masing.
“Gemblakku wis pinter macak, gemblakku wis pinter masak, wakakakaka tapi gak bakalan iso manak..” kata salah seorang lelaki dewasa dalam suara di balik layar. Lelaki tersebut mengatakan kalau gemblaknya sudah pandai berdandan, gemblaknya sudah pandai memasak, tapi tidak bakalan bisa beranak sambal tertawa-tawa. Segera ditimpali oleh lelaki dewasa lainnya saling pamer dan bangga dengan gemblaknya. Kontras sekali dengan situasi lelaki cantik yang merapal mantra, seperti serba salah akan situasi dirinya. Serba dilema tetapi dia juga memerlukan. Tangisan batinnya sungguh nampak dari buliran air mata penari yang sedang membakar ratus tersebut.
Adegan tarian di atas diperankan dan diciptakan oleh Adi Pranata mahasiswa ISI Surakarta. Tari tersebut seakan mewakili cerita kelam, suka dan duka seorang gemblak di Ponorogo.
Adi Pranata adalah salah satu peserta Srawung Ponoragan yang digelar di taman kota timur GOR Suromenggolo Ponorogo 31 Desember 2016 malam tahun baru kemarin.
Srawung Ponoragan sendiri adalah sebuah event yang bertujuan mengisi taman-taman kota menjadi ruang interaksi kesenian. Dengan mengambil kata srawung event ini siap menampung ekpresi-ekpresi seni yang sebelumnya tidak mendapatkan ruang. Ini adalah penampilan kali kedua setelah kegiatan ini digagas.
Seni rupa, seni tari, seni suara, seni teathre, sastra, seni rupa, pedalangan, potograpy, komunitas film, band, budayawan sampai kuliner Ponoragan berkumpul bahu membahu dalam kegiatan ini.