Makam Syech Wasil Syamsuddin di Setono Gedong Kediri menyimpan banyak misteri. Tentang awal masuknya Islam di Indonesia, jauh sebelum para saudagar Gujarat dan para waliyullah seangkatan Walisongo. Hubungan beliau dengan Prabu Sri Aji Joyoboyo terdokumentasikan pada 2 prasasti, konon satu di Trowulan dan satunya lagi disimpan di balai pustaka di Jakarta sana, kata Pak Juari yang saban hari menjadi pemandu freelance di area makam.
Kesimpangsiuran siapa beliau tak usah diperdebatkan. Suasana makam yang berbaur dengan ornamen candi Hindu serta puing-puing yang tersisa mungkin bisa ceritakan bagaimana kala itu Islam, Hindu, dan Buddha hidup berdampingan dalam satu kerukunan. Negara (Kerajaan) melindungi kehidupan beragama. Pasang-surut keragaman beragama juga nampak dari puing-puing yang tersisa. Menurut Pak Juari, komplek makam ini dulu merupakan hadiah dari Prabu Sri Aji Joyoboyo kepada Syech Wasil Syamsuddin atas jasanya kepada sang prabu secara pribadi dan pada kerajaan pada umumnya.
Syech Wasil Syamsuddin lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Arab. Ada juga yang menyebutnya Pangeran Ngerum mungkin beliau berasal dari sana.
Kedatangan saya pada tahun 2000-an tersebut menjemput guru saya, Pak Suyadi Ali. Kala itu beliau diutus oleh kyai saya untuk suatu misi. Setelah misi selesai, keluarga, saudara, lingkungan, bahkan murid-murid yang diasuhnya menjauhi Pak Suyadi Ali. Mereka menganggap Pak Suyadi Ali bersalah, padahal beliau takdim kepada perintah kyainya (guru). Sampai saat itu beliau enggan kembali ingin menghilang dari khalayak. Beliau menetap di Setono Gedong hampir dua pekan tanpa mengabari siapa pun. Baru menjelang akhir pekan kedua, beliau memberi kabar kami disuruh datang ke Setono Gedong.
Kala itu putra pengasuh pondok terbesar di Kediri Gus Aklish berkunjung ke Setono Gedong. Hujan lebat disertai angin, Gus Aklish meski berjalan di kehujanan nampak tidak basah oleh derasnya hujan. Lalu masuk ke dalam masjid tetap memakai sandalnya. Ajaib, bekas tapak sandalnya tak membasahi lantai masjid. Lalu sendal tersebut dilepas ditaruh di lubang tepat di atas kepala imam.
Lalu Gus Aklish berdiri pada mimbar dengan menyetel pengeras suara maksimal. Berdoa dan berdzikir dengan pengeras suara dengan volume maksimal. Tak ada yang berani melarang kala itu. Mengetahui keanehan begitu, Pak Suyadi Ali mengajak kami masuk dalam masjid ikut makmum doa beliau dan mengamati gerak-gerik beliau.
Beliau baru duduk di mimbar ketika waktu sholat tiba. Beliau diam menunggu adzan berkumandang sampai sholat berjamaah selesai. Satu hal yang kami catat sandal milik beliau yang biasa ditaruh di kaki dan injak-injak masih berada di atas kepala imam.
“Ayo kita pulang,” ajak Pak Suyadi kala itu. Di perjalanan dijelaskan kalau peristiwa yang barusan terjadi adalah pelajaran luar biasa. Sandal yang biasanya diinjak-injak, yang biasa di tempat kotor, yang biasa dihinakan, dinajiskan, dianggap salah di tempat paling bawah suatu saatnya akan terhormat ditaruh di atas kepala imam. Luar biasa bila Allah berkehendak di makam pun penuh dengan petunjuk, bahkan sandal yang hina dina bisa menjadi pembelajaran. Pak Suyadi meski dianggap salah atau hina, mempunyai tempat luar biasa di mata guru dan Allah.
“Mas ayo coba masuk... Mumpung berkunjung kesini ayo mas coba saja...” pinta pak Juhari. Akhirnya saya mencoba masuk suka melewati lubang tersebut.
“Mas biasa anak-anak atau yang akan kawin berebut masuk lubang pohon ini sambil berdoa kepada Allah apa permintaannya...” kata pak Juari setelah saya melewati lubang tersebut. Wakakakaka saya jadi terpingkal-pingkal mendengarnya.
Menurut berbagai pak Juari yang datang berziarah ke makam Syech Wasil Syamsuddin ini berbagai kalangan, orang Islam, non Islam bahkan turis mancanegara yang didominasi oleh turis dari China. Mereka dengan tujuan dan maksud yang berbeda-beda.
“Lakum dihukum waliadin... Mau Ndak mau ini sudah menjadi tempat umum mas, kita harus menyesuaikan...” kata pak Juari ketika saya berpamitan kemarin. Hanya Allah yang tahu dan maksud hati orang, manusia tidak berwenang menilai niat dan isi hati sesama manusia, apalagi menghakimi imbuhnya. Isyaratnya bila saban periode toleransi agama pernah mengalami pasang surut sedari lokasi ini dibangun sampai sekarang.
*) am_pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H