Tahun baru bukan hal yang luar biasa bagi Kusiyar. Bebek-bebeknya tetep butuh makan dan istrinya butuh telur bebek untuk dijual di pasar seperti hari-hari biasanya sebelum tahun baru.
Kusiyar membawa 800 ekor bebeknya memakai gerobak yang dimodifikasi mirip kereta kancil yang ditarik dengan motor bututnya.
Begitu sesampai di pinggir persawahan bekas panen dia menepikan motor dan gerobaknya. Palang dari anyaman bambu dia tata mirip jalan antrian loket di stadion bola. Tujuan pemasangan palang pengaman tersebut untuk mengarahkan ratusan bebeknya untuk masuk area sawah, persis mengarahkan suporter di pertandingan bola.
Begitu masuk sawah bebek-bebek tersebut riang gembira, suaranya memecah keheningan di persawahan di daerah Prambon Nganjuk kemarin. Tanpa dikomando bebek-bebeknya langsung mencari makan di persawahan milik orang sehabis panen tersebut. Sisa-sisa padi yang rontok ketika dipanen menjadi makanan gratis. Selain itu hewan-hewan sawah seperti kepiting, katak, bibis, cacing, keong, sampai serangga belalang, wereng tak luput dari serbuan ratusan bebek tersebut.
“Yang punya sawah ndak marah pak?” tanya saya, karena di daerah saya menggembala bebek di persawahan milik orang tidak diperbolehkan dengan alasan bisa mengakibatkan gatal pada kaki penggarapnya. Sehingga menyebabkan sakit kulit pada kaki.
“Ndak mas, di Nganjuk ini sudah biasa, malah pemilik sawah senang karena hama dari hewan sawah bisa bersih, njenengan dari mana?” jawab pak Kusiyar sambil balik bertanya. Memang di daerah Ponorogo menggembala bebek tidak lazim bahkan dianggap mengganggu.
Tapi di Nganjuk ternyata saling menguntungkan antara penggembala dan pemilik lahan sawah.
Menurutnya dia menggembala mulai jam 7 pagi sampai jam 11 siang. Biasanya bebeknya dikasih makan pagi dan sore, kalau digembalakan begini bisa menghemat jatah makan pagi. Bebek yang digembalakannya usia pra telur, karena kalau yang sudah siap telur seringkali telurnya berceceran di persawahan waktu di gembala.
“Memimpin bebek itu lebih mudah daripada memimpin manusia, bebek tidak punya ambisi seperti manusia, bebek tak pernah menjilat pemiliknya agar dibelaskasihi atau disayangi...” jawabnya panjang membuat saya bengong.
“Bebek itu penurut pada pemimpinnya, bebek itu kompak yang depan ke kiri semua ikut ke kiri, yang depan ke kanan yang belakang ikut ke kanan, bebek itu setia pada imamnya, coba nanti lihat bagaimana bebek-bebek ini menurut saja ketika saya giring masuk gerobak..” jelasnya lagi panjang dan membuat saya geleng-geleng.
Karena jauh dia tidak saban hari pulang, dia sering menginap di tempat menggembala. Dia lebih memilih menginap di SPBU atau dekat tempat ramai lainya untuk keamanan.
Dia berpindah-pindah, sebelum di Prambon Nganjuk ini dia dari Ngawi dan Saradan. Dia selalu tahu daerah-daerah mana yang sehabis panen. Sama dengan pak Kusiyar dia membawa bebek-bebek remaja pra bertelur. Hanya saja dia menggembalakanya pagi dan sore jadi nyaris tak memberi pakan. Pakan yang dibawanya hanya sebagai cadangan saja kalau persawahan kurang sumber makanan.
Bebek-bebeknya diberi tanda cat merah pada ekornya, dia takut tertukar dengan bebek sesama penggerakan yang sering bertemu dalam satu area.
Tiap bebek remaja dengan harga kisaran 70-80 ribu. Ketika siap bertelur keluarganya dari Jombang akan menemuinya di tempat di mana dia menggembala untuk dibawa pulang. Ditukar lagi dengan bebek remaja lagi. Begitu terus saban bulan ada pertukaran bebek.
Menurutnya harga telur bebek per biji 1500, tidak perlu menjual ke pasar karena pembeli sudah berebut datang ke kandangnya. Untuk bebek-bebek yang sudah tidak produktif sudah punya langganan untuk bebek goreng. Para pedagang bebek goreng sudah memesan jauh hari. Dan hasilnya digunakan lagi untuk membeli anakan bebek yang mendekati remaja. Dan begitu seterusnya.
“Tak takut terkena wabah penyakit menular yang bikin bebek-bebeknya mas?” tanya saya.
“Hidup itu penuh resiko, kalau tak berani ambil resiko akan tertindas jaman, kalau takut resiko semua hanya dalam angan..” jawabnya, lagi-lagi diplomatis seperti pak Kusiyar. Membuat saya geleng-geleng kepala lagi.
“Urusan berhasil dan tidak urusan Allah, saya sudah berupaya, Allah bukan menilai hasil tapi proses, kerja dan kerjakan apa yang kita bisa mas...” katanya lagi menohok.
Luar biasa...
Terima kasih pak Kusiyar, terima kasih mas Agus.
*) AM
*) PM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H