Dia berpindah-pindah, sebelum di Prambon Nganjuk ini dia dari Ngawi dan Saradan. Dia selalu tahu daerah-daerah mana yang sehabis panen. Sama dengan pak Kusiyar dia membawa bebek-bebek remaja pra bertelur. Hanya saja dia menggembalakanya pagi dan sore jadi nyaris tak memberi pakan. Pakan yang dibawanya hanya sebagai cadangan saja kalau persawahan kurang sumber makanan.
Bebek-bebeknya diberi tanda cat merah pada ekornya, dia takut tertukar dengan bebek sesama penggerakan yang sering bertemu dalam satu area.
Tiap bebek remaja dengan harga kisaran 70-80 ribu. Ketika siap bertelur keluarganya dari Jombang akan menemuinya di tempat di mana dia menggembala untuk dibawa pulang. Ditukar lagi dengan bebek remaja lagi. Begitu terus saban bulan ada pertukaran bebek.
Menurutnya harga telur bebek per biji 1500, tidak perlu menjual ke pasar karena pembeli sudah berebut datang ke kandangnya. Untuk bebek-bebek yang sudah tidak produktif sudah punya langganan untuk bebek goreng. Para pedagang bebek goreng sudah memesan jauh hari. Dan hasilnya digunakan lagi untuk membeli anakan bebek yang mendekati remaja. Dan begitu seterusnya.
“Tak takut terkena wabah penyakit menular yang bikin bebek-bebeknya mas?” tanya saya.
“Hidup itu penuh resiko, kalau tak berani ambil resiko akan tertindas jaman, kalau takut resiko semua hanya dalam angan..” jawabnya, lagi-lagi diplomatis seperti pak Kusiyar. Membuat saya geleng-geleng kepala lagi.
“Urusan berhasil dan tidak urusan Allah, saya sudah berupaya, Allah bukan menilai hasil tapi proses, kerja dan kerjakan apa yang kita bisa mas...” katanya lagi menohok.
Luar biasa...
Terima kasih pak Kusiyar, terima kasih mas Agus.
*) AM
*) PM