Rasa penasaran membawa saya dan Nidhom Fauzi untuk berbelok ke desa Brumbun di tengah perjalan kami mengunjungi Rumah Sakit Paru di daerah Dungus tenggara kota Madiun.
Papan petunjuk sederhana dari papan kayu yang belum permanen bertuliskan "Selamat Datang Di Desa Wisata Brumbun". Menggoda saya untuk mengunjunginya, desa yang dulu saya kenal berada di bantaran sungai (kali) Catur, desa yang selama ini jarang didatangi orang dari luar desa, dusun yang berada di anak sungai yang ditangkis sehingga mobil saja tidak bisa masuk. Dusun yang orang enggan tinggal karena berada menjorok ke sungai sehingga terkesan terpencil. Dan hanya ada 7-10 rumah yang ada di sekitar aliran anak sungai tersebut.
Tapi kini desa dan dusun tersebut jadi hingar-bingar semenjak 6 bulan lalu. Orang luar desa bahkan luar kota berdatangan mengunjunginya. Yang tidak berubah dari desa ini masyarakatnya yang bersahaja, ramah, sungainya yang bersih dan udara yang sejuk.
“Bener mas nembe 6 wulan niki desa wisata niki dibikak..” kata mbak Yeti sambil menyerahkan tiket masuk yang kami beli. Ia menjawab pertanyaan saya, kalau desa wisata Brumbun ini baru 6 bulan dibuka tepatnya setelah Lebaran kemarin.
“Wahana kelen niki niru kelen wonten guo Pindul wonten Gunung Kidul, lan niki ingkang dados daya tarik pengunjung ngantos antri-antri..” jelas mbak Yeti. Kelen dalam Bahasa Jawa berarti hanyut di air, meniru wahana wisata di gua Pindul berupa ban bekas yang dipompa digunakan sebagai perahu.
“Studi banding mas dateng Gunung Kidul, nopo sing sae wonten mriko didamel wonten mriki…” imbuhnya lagi, menurutnya beberapa pemuda yang tergabung dalam karang taruna melakkan studi banding ke Gunung Kidul, karena situasi alam di Brumbun ini mirip Gunung Kidul.
“Masyarakat madani…” bisik Nidhom.
“Madani peripun mas?” tanya mbak Yeti pada Nidhom, candaan Nidhom ternyata bikin penasaran penjual tiket masuk. Kata ‘madani’ yang dimaksud Nidhom bukan lah masyarakat madani seperti umumnya namun kata madani berasal dari kata ‘mada (pada)’ yang dalam Bahasa Indonesia ‘sama’.
Madani artinya meniru, menjiplak, mencontek apa yang telah ada, suatu missal di Pindul ada wahana wisata ban dicontek diaplikasikan di desa Brumbun ini. Begitu pula soal copy paste tulisan sudah menjadi ciri khas masyarakat madani seperti yang disindirkan Nidhom.
“Wakakakakaka… njih mas, tapi gadah nilai plus tinimbang tiyang mriki adoh-adoh dating Gunung kidul mendingan dateng mriki langkung mirah biayanipun, lan toyanipun langsung resik lan bening…. Niru kangge kebecikan kan mboen nopo nopo to mas…” kata mbak Yeti sambal tertawa, dia menjelaskan meniru syak-syah saja untuk kebaikan, daripada orang sekitar sini jauh-jauh ke Gunung Kidul mendingan berwisata di sini lebih dekat dan lebih murah serta airnya lebih bersih dan jernih.
Di area desa wisata Brumbun ini dibagi 3 area, area kelen berada di sepanjang anak sungai yang biasanya dipakai irigasi warga. Dimulai dari dekat masjid dan finis di dekat perempatan pintu masuk (kurang lebih 1,5 km). Memakai ban truk bekas yang diikat tali untuk sandaran bokong dan untuk menyatukan ban satu dengan yang lainnya. Setiap rombongan terdiri dari 5-10 orang dikawal 2 orang pemandu.
Wahana ini aman dijaga pemandu, dan air tidak begitu deras. Mungkin kedepanya akan dibuka di aliran yang lebih deras dengan kategori mirip arung jeram, untuk kegiatan yang ektrim.
Pihaknya sudah mengkaji dan sudah menjalin komunikasi dengan berbagai pihak untuk bisa terlaksananya rencana ini. Dukungan dari pemerintah desa, kecamatan, dinas Pariwisata bahkan pemda kabupaten Madiun sudah mulai tampak hasilnya. Berkali-kali pihak dinas terkait mengadakan pembinaan pada karan taruna desa Brumbun kecamatan Wungu ini.
Secara ekonomi masyarakat bisa membuka warung atau jasa parkir, jasa ojek, bahkan ikut dalam kepanitiaan. Seperti pak Susilo dari membuka lahan parkir sehari bisa meraup keuntungan 150-250 ribu saban hari, dan hari libur bisa mencapai 400 an ribu. Begitu juga mas Sugeng dia menyediakan jasa ojek, setiak kali tarikan 5 ribu, karena tempat parkir mobil jauh dari lokasi sehingga para pengunjung lebih terbantu dengan ojek murah ini. Sehari mas Sugeng dan teman-temanya bisa meraup uang 100-150 ribu.
“Pokok dinikmati dulu mas… ndak berani berandai-andai kedepannya….” Kata mbah Muh Anwar ketika ditanya bagaimana rencana ke depan. Asal dia tidak merugi dan warga sekitar bisa mendapat manfaat.
“Oalah mas… orang hidup itu terasa nikmat bisa bermanfaat buat orang lain dan sekitarnya..” katanya lagi, dia juga merelakan mushola pribadinya menjadi bascame karang taruna.
Selain sarana prasarana untuk kedepanya akan dibuat jalan setapak menuju lokasi yang diperkeras dengan semen, dibuat wahana bermain, wahan edukasi seperti kincir air, serta musik dari bambu yang digerakkan air, rumah pohon. Meski sudah ada tapi belum optimal.
Tidak bermuluk-muluk harapan para pemuda-pemudi karang taruna desa Brumbun ini, dinikmati dulu hasil keras selama ini, dan terus belajar dan tidak perlu malu belajar untuk menimba ilmu ke daerah lain untuk kemajuan desanya. Disebut masyarakat Madani mereka tidak peduli, asal untuk kepentingan orang banyak dan baik manfaatnya mengapa tidak? Kata Farel salah satu pemudi yang mengurusi tiket di wahana wisata kelen. Luar biasa hari libur sekolah begini pengunjung tembus sampai 500-700 orang sehingga siap tidak siap mereka harus bekerja ekstra.
Luar biasa semangat anak-anak seuisa SMP dan SMU di desa Brumbun kecamatan Wungu Madiun ini, ditengah remaja seusianya di daerah lain hingar bingar dengan segala kepentingannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H