Pergelaran Festival Reyog Nasional segera usai. Kejutan demi kejutan terus bermunculan, persaingan antar kandidat semakin sengit. Inilah daya tarik tersendiri bagi penonton, bisa mengetahui seberapa jauh reyog bisa diterima atau bisa berkembang pada tempat asal kontingen.
Meski ada pakem, tetapi nuansa kedaerahan asal kontingen bisa terasa kental terasa. Suatu misal kontingen dari Surabaya, make-up penarinya mirip-mirip penari remo. Begitu juga asesoris 'krincing' yang biasa dipasang di kaki penari remo. Krincing (lonceng kecil-kecil) tersebut dipasang pada jaranan, bukan pada kaki seperti penari remo. Sehingga di setiap hentakan atau gerakan penari pasti ada bunyi-bunyian cring... cring seperti penari Suroboyoan.
Begitu juga kontingen dari Jakarta atau Jawa Barat-an, tarian asli daerah tersebut mewarnai reyog yang mereka bawakan. Jaipong, gerakan penari perempuannya mirip-mirip tari Jaipong, meski sebenarnya tidak keluar dari pakem.
Hal di atas membuat para kontingen berlomba-lomba menunjukkan kreativitasnya dan tampil all out. Sehingga dari tahun ke tahun ada nuansa baru dari penampilan kontingen luar Ponorogo. Apakah mereka salah? Tentu tidak sebagai bukti seringkali kontingen tamu sering menggondol predikat terbaik. Tentu ini sinyal positif kalau perkembangan reyog tidak kaku oleh jaman, meski ada aturan main yang tidak boleh dilanggar, seperti pakem.Â
Begitu juga penampilan reyog Brawijaya, kontingen dari Universitas Barwijaya Malang. Penonton sudah tidak sabar menunggu tampilnya grup ini
Apa yang istimewa?
Begitu juga tarian warok juga terkesan tegas seperti tentara, atraktif dan tangkas. Penonton berkali-kali dipaksa memberi applause. Kekompakan mereka benar-benar mirip pasukan perang. Pasukan perang Brawijaya??
Entahlah...