Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sindroma "Baby Blues", Apa Sebabnya?

22 September 2016   15:47 Diperbarui: 22 September 2016   19:59 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan mengalami gangguan emosi setelah melahirkan atau sering kali dikenal dengan istilah sindroma baby blues. Perdebatan saya dan istri tiada gunanya tentang istilah baby blues. Yang pasti, saat ini Murti sedang mengalami gangguan emosi menjelang persalinannya.

Ini kehamilan Murti yang kali ketiga. Kalau dilihat dari postur Murti bisa digolongkan kehamilan dengan kelahiran bawaan panggul sempit dengan tinggi badan 146 cm. Karena perempuan yang tinggi badannya di bawah 150 cm dikategorikan panggul sempit. Persalinan harus di rumah sakit rujukan, artinya jarang bisa melewati jalan lahir (pervaginam).

Anak pertama Murti lahir di klinik istri saya. Kala itu berat badannya cuma 2.000 gram. Kecilnya bayi sehingga tidak berpengaruh pada panggul sempit. Anak kedua sudah mbrojol duluan di kursi tunggu sebelum masuk ke kamar bersalin. Anak pertama dan kedua perempuan. Anak perempuan pertama masuk TK, sedang anak kedua masih berumur 1,5-an tahun.

Istri saya pernah menyarankan Murti untuk ikut program keluarga berencana, namun suami Murti melarangnya karena tidak sesuai pahamnya. Murti juga mengatakan suaminya menghendaki anak lelaki. Mungkin alasan ini yang membuat takut Murti untuk USG. Kehidupan keluarga Murti yang pas-pasan sebenarnya iba. Sebenarnya kehamilannya juga sudah melewati hari perkiraan (postdate). Dua minggu lewat sudah dari perkiraan.

“Segera dirujuk ke RSU saja...,” saran saya kepada istri. Murti protes tidak mau dirujuk, katanya mendahului kehendak Tuhan karena belum ada kenceng-kenceng (kontraksi). Sementara Murti tidak datang dengan suaminya karena suaminya mengurusi anak-anaknya yang masih kecil di rumah.

Akhirnya istri saya menghubungi ayah-ibu Murti, yang sudah beda rumah. Kami jelaskan apa yang terjadi dan apa yang sebaiknya untuk segera dilakukan. Akhirnya Murti dibawa ke rumah sakit tanpa didampingi suaminya. Menurut keluarganya, selama di rumah sakit Murti terus-menerus protes kepada petugas. Baru dua hari berikutnya pihak rumah sakit mendapatkan persetujuan operasi. Murti harus segera dioperasi. Letak bayinya yang sungsang dan detak jantung janin yang semakin melemah menjadi alasan untuk segera dilakukan tindakan.

Entahlah Murti tergolong sindroma baby blues atau bukan saya ragu. Karena sindroma baby blues adalah gangguan emosi ringan yang terjadi dalam kurun waktu dua mingguan setelah ibu melahirkan. Sindroma yang sering terjadi pada ibu dalam keadaan tertekan. Sindroma ini ditandai dengan gejala-gejala gangguan emosi seperti sering menangis atau utamanya ketidaksiapan ibu menghadapi kelahiran bayinya. 

Trauma atau tekanan psikologis selama kehamilan juga menjadi penyebab masalah ini. Faktor-faktor hormonal (estrogen dan progresteron) juga bisa mempengaruhi.

Peran suami dan keluarga sangat dominan agar bisa dihindari terjadinya sindroma baby blues ini. Dukungan psikologis dari keluarga atau orang terdekat, sahabat, konselor, ataupun psikiater sangat diperlukan. Dampingi dan persiapkan istri atau keluarga Anda mulai kehamilan sampai nifas agar pahitnya pengalaman Murti tidak terjadi pada keluarga Anda.

Jadilah suami siaga, yang selalu siap kapan saja ketika keluarga membutuhkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun