“Ini sejarah mas...” kata Andi Pranata lewat pesan FB.
“Sejarah yang mau tidak mau sudah kita lewati, sejarah dari perkembangan reyog dari masa ke masa” katanya lagi.
“Cerita kelam dalam sejarah seni dengan segala perdebatan ketika perubahan terjadi." Imbuhnya lagi.
Mencari Jathilan perempuan kala itu juga luar biasa sulit, karena para orang tua tidak merelakan anak perempuannya menjadi penari Jathilan reyog obyogan.
Persis alasan guru sejarah saya Pak Nur, Tarian jawa timur hampir seluruhnya diperagakan oleh laki-laki. Jathil, Remo, Jaran Pegon, Jaran Thik, mungkin kecuali Gandrung. Tarian Gandrung adalah tarian sakral dimana penarinya harus perawan, atau mungkin Banyuwangi merupakan daerah yang lebih condong ke suku Bali.
Di jawa timur tari memang milik laki-laki. Spekulasinya, perempuan bukan untuk tontonan, jelas pak Nur Kala itu.
Seni dan budaya terus berkembang, begitu juga seni reyog dan Jathilan di Ponorogo. Mau tidak mau jaman pasti memaksanya untuk menyesuaikan. Seni itu tidak kaku, akan selalu fleksibel dengan kondisi jaman.
Mohon maaf kepada insan seni di Ponorogo khususnya, bila tulisan ini kurang berkenan.
“Selamat Hari Jadi Kabupaten Ponorogo ke 520"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H