Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Senen Wage Memisahkan Cinta Mereka

16 Juli 2016   21:56 Diperbarui: 17 Juli 2016   18:00 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senen Wage. Foto Dokumen Pribadi

Lasikun lebih banyak diam, begitu juga Narsih istrinya. Selepas bersalaman, mereka langsung duduk. Istrinya duduk di kursi panjang berdampingan dengan istri saya. Sedangkan Lasikun di sisi sebelah barat. 

"Monggo didahar..." saya mempersilakan kepada mereka untuk mencicipi kue lebaran yang kami persiapkan di meja tamu. Mereka hanya mengangguk tanpa kata. Tak seperti biasanya mereka diam terlebih di saat lebaran begini. Hampir seperempat jam saya dan istri hanya basa-basi menawarkan makanan yang ada, lagi-lagi mereka hanya mengangguk.

"Bu... Endang ora sido jejodoan kato Heru..." mulut narsih akhirnya terbuka juga. 

"La nyapo?" tanya istri saya atas pernyataan Narsih tentang perjodohan Endang anaknya dan Heru.

Heru adalah lelaki pilihan Endang yang dikenalnya karena kakak perempuan Heru menjadi anak angkat keluarga kami.

"Sakjane abot bu.. keluargaku wis kadung seneng menyang Heru, lan keluarganya Heru yo kebacut seneng menyang keluargaku..." kata Lasikun, saya dan isteri hanya mengangguk menunggu mereka selesai bercerita. Terasa berat karena keluarga ke dua belah pihak sudah terlanjur suka dan akrab.

"Riyoyo 3 dino wingi Heru badan, ngomong yen kelahirane Senen Wage..." lanjut Lasikun, dikatakannya kalau hari raya ke 3 Heru bersilaturahim kepadanya, Heru mengatakan kalau hari pasaran kelahirannya Senin Wage. 

Narsih terus menangis sesenggukan saat suaminya mengatakan hari kelahiran Heru Senin Wage. Mereka bersedih tapi saya dan istri masih bingung.

Karena setahu kami Heru dan Endang saling jatuh cinta, Endang bisa menerima Heru apa adanya. Kejujuran dan keluguan Heru sudah memikat Endang dan keluarganya. Meski saban hari Heru bekerja di pabrik kerupuk di dekat rumahnya. Sebelum Endang berangkat menjadi buruh migran dia telah sepakat dengan Heru untuk saling setia dan menunggu. Begitu kedua orang tua masing-masing sudah memberi lampu hijau untuk hubungan mereka lebih lanjut.

Tapi mengapa gara-gara hari pasaran kelahiran Heru yang Senin Wage semua jadi berantakan??

Saya dan istri terus menunggu mereka bercerita.

Sambil menangis Narsih mengatakan kalau Endang anaknya juga lahir di Hari Senin Wage. Keduanya lahir di hari pasaran yang sama, meski usia Heru 4 tahun lebih muda tapi hari pasaran kelahirannya sama.

Menurut Narsih bila mereka nekat berjodohan nanti salah satunya akan kalah. Salah satunya akan meninggal atau berakibat buruk, baik pada teman-temannya atau orang tua temanten. Itulah yang dikatakan berjonggo kepada mereka berdua.

Berjonggo (semacam tetua adat di desa di Ponorogo) yang tugasnya memimpin upacara-upacara adat. Berjonggo tak mau ambil risiko, katanya. 

Kebetulan 2 bulan yang lalu ada kasus mirip Heru-Endang ini nekat kawin dan seminggu kemudian ayah mempelai wanita meninggal. Begitu juga nasib yang dialami Pak Lurah tetangga desa, meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas 3 hari sebelum resepsi dengan cerita yang sama, hari pasarannya sama.

Menurut cerita Narsih setelah mengetahui hari pasaran kelahiran Heru, dia langsung memeluk dan menciumi calon menantunya. Meski tak jadi menantunya dia berharap Heru dan Endang menjadi saudara. Mereka tak ingin sesuatu hal buruk terjadi, apalagi Endang adalah putri semata wayangnya.

Apa reaksi ibu Heru??

Ibu Heru marah, dia mengatakan kalau desa kami tak berani mengawinkan anak-anaknya dia akan mengawinkannya di desanya. Karena soal hari begitu bisa diakali atau ditebusi. Tapi apa dikata, Lasikun dan Narsih bersikukuh tidak berani.

Satu hal yang paling berat buat Lasikun dan Narsih yaitu bagaimana caranya memberi tahu Endang yang saat ini bekerja di luar negeri dan sudah terlanjur jatuh cinta sama Heru.

Saya dan istri hanya geleng-geleng kepala, berusaha memberikan solusi untuk acara ijab kabulnya di kampung Heru. Lasikun dan Narsih hanya menangis tapi tak berani ambil resiko. Kedatangannya selain berlebaran berharap kami memerintahkan maaf pada keluarganya Heru dan menjelaskannya apa yang dihadapinya. Mereka menganggap kami bisa menjelaskan itu semua.

Entahlah...

Kami tak bisa berbuat banyak selain berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik bagi kedua keluarga ini. Apapun itu....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun