Balihonya nyentrik dan gokil habis. Baliho yang biasanya berisi pesan layanan masyarakat tentang pelestarian hutan, pesan dari atas ke bawah (pemerintah kepada rakyat) diganti dari bawah ke atas (dari rakyat kepada pemerintah).
"Selamat datang di kampung pisang"
"Sory perjalanan Anda terganggu"
"Kami muak, kecewa, omong kosong, geregetan"
Pesan yang ditulis dengan warna merah. Warna yang biasa dipakai untuk tulisan warning.
Ada apa??
Penasaran, ingin melihat apa yang terjadi. Perjalanan saya lanjutkan, begitu pula rombongan mobil plat B Â yang berada di depan saya.
Ini adalah jalan kabupaten, jalan yang menghubungkan antara kecamatan Mlarak dan Pulung. Jalan yang posisinya tak jauh dari pondok pesantren Gontor, tepatnya di sebelah timur. Jalan strategis, jalan pintas menuju ke Pulung atau Sooko dari arah Trenggalek ataupun Pacitan.
Kampung pisang? Aneh karena di daerah ini dulu hanya ketela yang bisa tumbuh, karena daerah kering di pinggiran hutan (perkebunan) kayu putih.Â
Kira-kira setengah kilo meter baru saya dapatkan jawaban. Ketika rombongan mobil di depan saya mulai oleng ke kanan dan ke kiri. Beberapa diantaranya memperlambat laju kendaraannya, bahkan berhenti untuk foto-foto.
"Tahu begini saya ambil jalan putar lewat utara mas..." ceritanya.Â
Sehari kemarin ada 10 an mobil yang terperosok dan perlu diangkat ramai-ramai. Ada puluhan motor yang gembos bannya karena rusaknya jalan.
"Pisang-pisang niki ditanem milai megengan Siam niko.." kata pak Jaenuri warga Suren yang kebetulan mencari rumput di daerah tersebut. Pohon pisang itu ditanam hari hari mendekati puasa (megengan).
Ini bentuk protes warga setelah bertahun-tahun kondisi jalan di desanya merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah.
"Pun wangsul-wangsul sambat tapi mboten diteken, mugi-mugi kanthi ngaten Bupati enggal paring perhatian.." kata pak Jaenuri. Katanya sudah bertahun-tahun mengeluh tapi tidak direspon, dia berharap dengan cara ini Bupati yang baru dilantik akan memperhatikan.
Ada beberapa penyebab jalan di sini cepat hancur, tonase kendaraan yang lewat, pengerjaan yang asal-asalan, dan tiadanya saluran air di kanan-kiri jalan. Tiada saluran ini menurut pak Jaenuri yang paling bikin andil terbesar. Di saat hujan air akan meluap ke jalan sehingga menggerus aspal jalan. Sedangkan saluran yang ada mampet karena warga tidak merawatnya. Banyak bangunan dan sampah yang membuat mampetnya saluran. Belum lagi lahan di samping kanan kiri di daerah atas (Pulung Merdiko) dijadikan TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir). Menurut pak Jaenuri sebenarnya juga sudah pernah di cor semen, tapi pengerjaannya asal-asalan. Tak sampai setengah tahun sudah hancur.
Ada beberapa permasalahan kalau bisa dirunut dari kejadian di atas. Perencanaan yang matang ketika proyek infrastruktur akan dibuat, pengawasan dari pihak berwenang waktu pembangunan, pengawasan pemakaian kelas jalan, dan terakhir bagaimana masyarakat ikut memiliki sehingga ikut menjaga dan merawat jalan tersebut. Bila masing-masing pihak menjalankan fungsinya yakinlah tidak bakalan ada pohon pisang tumbuh di jalanan aspal.
#Selamat Lebaran.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H