Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenal Mbah Tekluk, Sosok Legenda Kopi dari Ponorogo

22 Juni 2016   00:27 Diperbarui: 22 Juni 2016   14:46 6892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut mbah Tekluk dulu Bupati Soebarkah sering ngopi ditempatnya, dia sering ngobrol dengan rakyatnya. Terakhir almarhum Bupati Muhadi juga sering duduk di keremangan, ngopi sambil mendengar keluhan warganya secara diam-diam. Dengan memakai topi di kegelapan Bupati Muhadi meminta untuk dirahasiakan, cerita mbakyu Tukini yang sekarang meneruskan jualan di malam hari.

Banyak komunitas yang saban hari nongkrong di warungnya, selain kopi yang paling dicari di warung ini adalah jadah bakar dan tahu bakar. Harga kopi seribu lima ratus dan jajanan lima ratusan para pengunjung merasa aman di kantong.

Menjamurnya penjual kopi angkringan tak membuatnya risau, karena pangsa pasar berbeda. Pelanggannya adalah orang-orang pecinta dan penikmat kopi. Hanya orang-orang yang bisa menikmati kopi yang doyan kopinya. Kualitas dan mutu kopinya terus ia jaga, sehingga pelanggannya tetap setia. Kopinya pahit nyethak dan khas, bagi yang tak biasa minum kopi disarankan tidak usah minum kopi di tempat ini. Kopi telah menghidupinya, sebagai timbal balik ia harus memperlakukan kopi sebaik mungkin, seperti kopi yang telah menghidupi keluarganya selama puluhan tahun.

Hampir semua orang tahu kopi mana yang terkenal di Ponorogo ini, hampir semua orang asli Ponorogo mengenal dan tahu lokasi dijualnya kopi ini. Mbah Tekluk telah menjadi legenda, begitu juga kopinya. Menjelang lebaran banyak perantau yang menyempatkan diri mengunjungi warungnya, cerita mbakyu Tukini. Kopi Ponorogo membuat mereka rindu ketika berada di perantauan, ceritanya lagi.

Di saat bulan Ramadhan begini setelah sholat taraweh warungnya ramai, banyak orang yang akan iktikab mampir dulu biar betah melek, katanya.

[caption caption="sambil bekerja mbah Tekluk bercerita tentang kopinya "]

[/caption]

[caption caption="di dapurnya yang tanpa pintu"]

[/caption]

Menurut mbah Tekluk pemilihan kopi, pengolahan kopi serta peracikan yang menjadi kunci. Bahan sama tapi pengolahan yang berbeda akan menghasilkan rasa yang berbeda. Bahkan kopi sama, mengolahnya sama, tapi yang meracik berbeda akan berbeda pula rasanya. 

Rasa khawatirnya telah hilang ketika anak cucunya telah mewarisi keahliannya mengolah kopi dan meracik kopi. Kini mbah Tekluk tinggal momong anak putu (mengawasi) di usia senjanya. Senyumnya yang merekah mengisyaratkan kopi masih layak dirindukan. Tatapan matanya yang tajam mengisyaratkan tentang cemerlangnya bisnis kopi di masa mendatang.

 

#SecangkirPonorogo
#PonorogoAdalahRindu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun