Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

FEFO, Latar, dan Geliat Sineas Ponorogo Menjemput Mimpi

3 Juni 2016   18:19 Diperbarui: 3 Juni 2016   20:55 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barong & Jathil Menjemput Mimpi, Nurazis Widiyanto dok

Kecintaannya pada seni akhirnya luntur tatkala kebutuhan dan masa depan yang lebih menjanjikan datang menggoda. Aryo bimbang, tapi tak ada pilihan dan mengharuskannya berangkat ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI. Iming-iming gaji tinggi dan penghasilan lebih membulatkan tekadnya dibanding mengolah sawah yang semakin tak bisa diandalkan. Keteguhan dan keperkasaanya sebagai pembarong tak jua mampu membuatnya bertahan.

Minthul mengalami kegalauan ketika rekan, pemimpin, sekaligus penginpirasinya yang selama ini tampil bersama berpamitan akan pergi merantau ke Malaysia. Minthul tak kuasa menahan kepergian pembarongnya. Siapa yang akan menggantikan Aryo? Tak hanya Minthul, penari lainnya juga mengalami kegelisahan.

Sambil berderai air mata Minthul bersolek, berdandan jathilan dan berjalan mengelilingi kampung, dia terus menari sepanjang jalan, dia terus berjalan ke arah gardu tempat Aryo menunggu jemputan tekong yang menjadi agennya ke Malaysia.

Orang kampung gempar, menganggap Minthul sudah edan menari sendirian sepanjang jalan tanpa gamelan.

Aryo tereperangah, diapun segera mendekati Minthul dan ikutan menari sebagai pembarong. Wargapun antusias mengambilkan dadakan merak dan Aryopun mengenakan barongan. Tarian Barong dan Jathil tanpa gamelan ini merupakan tarian perpisahan.

Tarian serat makna antara sesuatu yang terpendam dan tidak perna bisa diucapkan. Semua jadi saksi seni dan kehidupan harus saling terkaiti.

Bupati Ponorogo, Nur Azis Widiyanto, dan Kepala Dinas Pariwisata
Bupati Ponorogo, Nur Azis Widiyanto, dan Kepala Dinas Pariwisata
Cerita diatas adalah gambaran cerita yang bisa saya tangkap dari salah satu film yang diputar pada Kamis malam Jumat kemarin. Mengisahkan perjalanan, suka duka, dan jeritan para penggiat seni reyog di Ponorogo. Film "Barong dan Jathil Menjemput Sepi" disutradarai oleh Nur Aziz Widiyanto. Dia adalah Kompasianer lama yang giat dalam kegiatan sineas. Dia mengumpulkan anak-anak setingkal SMU dan Kuliahan untuk diajak bersama-sama membuat film pendek.

FEFO adalah kegiatan yang mewadahi para sineas muda yang ada di Ponorogo yang dibidaninya. Festival Film Ponorogo merupakan ajang unjuk kebolehan dan merupakan apresiasi terhadap geliat sineas di Ponorogo yang semakin hari semakin diminati.

Nur Aziz Widiyanto mengatakan festival bukan lomba, bukan mencari baik atau buruk. Seni untuk dinikmati bukan dinilai. Semarak dan lebih ke partisipatif yang diharapkan dari kegiatan ini. FEFO 2016 rencananya akan digelar sepanjang tahun.

 [caption caption="Bupati Ponorogo Ipong Muklisoni "]

[/caption]

"Sijum Bareng Sipon" Sinema Jumat Bareng Sineas Ponorogo di Gedung Kesenian Ponorogo kemarin secara resmi dibuka oleh Bupati Ponorogo Ipong Muklisoni (26 Mei 2019)

"Gedung kesenian ini milik kita, reyog ini milik kita, film-film ini milik kita, kita wajib menjaganya, kita wajib melestarikannya..." kata Bupati mepersilakan memakai gedung kesenian.
Bupati bangga banyak seniman muda yang terlibat, diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi seniman lain di Ponorogo. Banyak seniman di Ponorogo yang berpikir tradisional, hanya sekedar penyuka seni. Bupati berharap seniman bisa hidup dari seni yang digelutinya, bukan sekedar hobi atau hiburan semata.

[caption caption="angkringan Solo masuk gedung kesenian "]

[/caption]

[caption caption="panitia dan poster-poster film"]

[/caption]

Selain film di atas masih ada 6 film lagi yang diputar berurutan. Film-film adalah tersebut karya sineas Ponorogo.
Bupati dan undangan seksama menonton duduk lesehan pada tikar sambil menikmati minuman dan camilan dari angkringan yang di boking panitia.

"Saya mohon film-film tentang budaya Ponorogo khususnya reyog agak diperbanyak, sekalian obyek-obyek wisata menjadi lokasi pengambilan gambar yang tujuannya untuk promosi..." pinta Bupati.

Dalam pembukaan kemarin juga dicanangkan film masuk desa yang beri tajuk LATAR, Layar Tancap Rakyat.
FEFO mencari cara bagaimana masyarakat berpartisipasi, dengan memperbanyak pemutaran film salah satunya.

Materi film yang akan diputar tidak hanya tentang Ponorogo, tapi film-film bikinan anak Ponorogo yang ada di perantauan juga akan diputar.
Menurut Nur Azis pihaknya sudah berkoordinasi dengan anak-anak Ponorogo yang menggeluti sineas.

Dia bercita-cita ingin membangkitkan film lokal, dan memasyarakatkan film lokal. Rencananya akan memutar di 6 desa tiap bulannya. Seni bukan sesuatu yang eklusif lagi, seni adalah kebutuhan tutur Nur Azis.

[caption caption="Penampilan Lusa Band"]

[/caption]

[caption caption="BEKU, pametan photography "]

[/caption]

Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan penggiat seni lainnya untuk berkolaborasi tampil bersama. Teater, puisi, band lokal yang sedang hits "Lusa band" dan potografy seperti yang terlihat pada pembukaan kemarin. Lorong masuk dihiasi foto-foto tentang budaya dari teman-teman Beku, sehingga pengunjung tidak melulu dihibur dengan film saja. Bupati dibuatnya geleng-geleng oleh fotografer yang tergabung dalam BEKU tersebut. Foto-foto tentang Ponoragan.

[caption caption="Nidhom Fauzi, tampil memukau "]

[/caption]

[caption caption="santai dan penuh keakraban "]

[/caption]

Pembacaan puisi oleh Nidhom Fauzi berkali-kali membuat penonton berdecak kagum. Bupati dibuatnya berkali-kali berdiri untuk memberi aplause. Puisi-puisinya berisi tentang kritik sosial situasi Ponorogo terkini. Tentang dampak maraknya TKI, dari segi untung dan rugi. Tentang jeritan penggiat seni, tentang hilangnya kepedulian terhadap seni, yang ujung-ujungnya Nidhom Fauzi minta dibikinin museum. Bupati tertawa terpingkal dan berjanji akan merealisasi museum seni di Ponorogo.

Terwujudnya harapan anak-anak seni Ponorogo adalah wujud pelestarian warisan budaya yang harus terus dijaga. Semoga menginspirasi.

#PonorogoAdalahRindu
#Fefo
#Beku

#Kampret

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun