[caption caption="Angkringan 'Nganggo Suwe' di pertigaan menuju Kota Gede dan Giwangan"][/caption]Gerimis sepanjang jalan mulai pintu gerbang makam Kota Gede sampai jalan besar pertigaan menuju Giwangan. Pakaian sudah terlanjur basah percuma bila mengeluarkan jas hujan (mantel) dari balik jok motor. Semakin lama semakin deras, akhirnya saya menyerah berhenti untuk berteduh di emperan toko sekitaran Kota Gede. Tengok sana tengok sini mencari warung angkringan yang terdekat. Hanya satu warung yang terihat ramai meski jam sudah menunjukan jam 1 malam. Nama warungnya lucu "Ngango Suwe", mungkin kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia "Pakai Lama" alias boleh berlama-lama di warung. Mungkin juga dalam melayani akan lama, itulah yang ada dalam pemikiran saya ketika membaca lembaran spanduk yang dipasang di depan warung.
Warung lumayan ramai, namun begitu masih ada tempat duduk kosong. Saya lebih memilih yang lesehan sebelah kiri, saya takut baju saya yang kemel (setengah basah) mengganggu pengunjung lainnya. Hampir seperemat jam saya duduk saya ndak juga dilayani, mungkin ini yang dimaksud dengan "nganggo suwe". Saya lihat orang keluar masuk, yang datang setelah saya sudah dilayani, namun saya juga belum. Akhirnya saya berdiri melihat situasi, ternyata datang langsung mendekati penjual dan memesan minuman.
[caption caption="wedang asem kawak"]
Saya masih bingung mau minum apa, saya menginginkan minuman hangat yang bisa menghangatkan tubuh.Â
"Niko mas daftare..." kata penjual berpeci tersebut sambil menunjuk daftar menu makanan dan minman yang terpampang di dinding sebelah utara.
Saya diam dulu, melihat-lihat apa yang paling banyak di minum orang di warung itu. Kebanyakan pengujung minum minuman yang berwarna coklat.Â
"Koyo sing dipesen mbake mau mas...." kata saya sambil mengamati minuman yang dibawa 2 perempuan muda yang barusan lewat di depan saya.
"Iku wedang asem mas..., di weneh jae opo ora?" tanya mase yang berpeci, saya hanya menggeleng.
Tak begitu lama wedang asem sudah jadi dan ditaruh di meja kecil dekat tempat saya duduk lesehan.
Saya aduk pelan, warnanya perlahan menjadi coklat, asam yang berwarna coklak kehitaman tersebut berhamburan ketika sendok panjang saya mengganggunya. Saya amati perlahan sambil mengaduk campuran apa yang ditaruh digelas, namun keburu tertutupi warna coklat sehingga sulit membedakan mana gula dan asam.
Perlahan saya iling (tuang) pada lepek (tatakan gelas), bau harum asam terasa, baunya antara campuran asam dan gula merah (gula jawa). Baunya seperti minuman asam jawa yang dikemas di supermarket, hanya saja bendanya di warung ini disajikan panas sedangkan di supermarket biasanya dingin.
Perlahan saya seruput.. Rasa asam tak lagi menyengat, perpaduan dengan manisnya gula pas. Asamnya seperti asem kawak (asam yang sudah ditimbun lebih setahun) sehingga rasa masamnya sudah banyak yang hilang. Perlahan wedang asam ini mengaliri kerongkogan, rasa gatal ditenggorokan disapu olehnya. Sesampainya di lambung masih terasa hangatnya, tak ada rasa perih meski sedari siang perutku belum sempat terisi. Hangat badan terasa meski dimasuki barang asam.
Saya sudah familier dengan minuman ini, zaman kecil saya ikut nenek saya. Setiap kali saya sakit panas atau flu dibikinkan wedang asem kawak. Hanya saja oleh nenk ditambahi kunyit sedikit katanya buat turun panas.
[caption caption="wedang jae asem"]
[caption caption="wedang asem jahe"]
Rasa wedang asem jahe inipun luar biasa, begitu memasuki mulut, kerongkongan, sampai lambung, badan terasa hangat. Perlahan bulu kudu yang tadinya berdri terhipnotis kembali menempel pada kulit. Sampai kelupaan kalau baju yang saya pakai setengah basah karena kehujanan sebelum berteduh di warung ini.
[caption caption="Nasi bakar kemangi"]
[caption caption="puyuh goreng"]
[caption caption="aneka macam gorengan dan lauk"]
Nasi bakar, saya langsung mengambil nasi bungkus yang di dekat penjualnya, daun pisangnya sebagian gosong hijau kehitaman, asap bekas bakaran masih kedul-kedul (keluar). Saya mengambil satu yang saya taruh pada piring anyaman rotan, perlahan saya buka bahu harum kemangi begitu menggoda, harum kemangi yang sudah lau akibat dibakar, sambal tomat terinya menjadi semakin meggoda. Nasi uduk, kemangi, sambal tomat dan teri menyatu dalam harum daun pisang yang dibakar.
Bermacam-macam lauk seperti burung puyuh, tahu bacem, tempe bacem, bakwan, dan goregan khas jogja lainya. Tingal pilih dan tingal ambl, dan nati tinggal bilang ke penjualnya apa saja yang dimakan. Sebaiknya jujur, kalaupun tidak jujur penjualpun gaka bakalan tahu tapi dosa.
[caption caption="tahu arab, ati arab"]
[caption caption="Dok. Pribadi"]
"Dari mana mas?" tanya saya sok akrab.
"Salatiga mas..." jawabnya. dan setelah itu saya dan dia banyak ngobrol. Dia mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta ini. Dia menceritakan sering ke warung ini. Dia paling suka pesan ati arab, rasanya khas dibumbu digoreng baru dibakar. Disajikan masih dalam keadaan panas.
"Ini mas kalau mau cobak, kalau mas muslim jangan..." tawarnya.
Saya menjadi penasaran, lalu saya amati ternyata berupa dedeh (darah binatang) yang dimasak. Orang Yogyakarta menyebutnya saren.Â
Pengunjung sering menyebutnya ati arab, bahkan ada juga yang menyebutnya tahu arab. Arab-pati nggenah wakakakakakaka canda saya yang membuat mahasiswa di samping saya terpingkal.
Warung ini hanya buka di malam hari. Jam 7 malam sampai menjelang subuh. Para pelangganya dari banyak kalangan, bahkan seringkali turis manca negara bersama guide nya mampir dan nongkrog di sini.Â
Tempatnya tidak terlalu luas, namun pembeli keluar masuk serasa tempat ini tidak pernah sepi namun tetap muat orang banyak.
"Nanggo suwe" ternyata boleh berlama-lama di sini, bukan melayaninya lama seperti perkiraan saya semula.
Â
*) salam jalan-jalan
*) Jogja istimewa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H