Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Sholeh dan Cerita Lombok Naik Pesawat di Berau (6)

20 Januari 2016   22:12 Diperbarui: 20 Januari 2016   22:15 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penundaan penerbangan karena cuaca yang tak mendukung kami alami, penerbangan untuk tujuan area kota di Jawa Timur (Surabaya, Malang, dan Banyuwangi) mengalami penundaan. Kabar penundaan kami terima sehari sebelum puncak acara Datsun Risers Expedition dan Kompasiana Blog Trip etape 1 Kalimantan Timur. Selain kami berdua (saya dan mas Arif Khunafi) ada lagi Kompasianer dari Banjarmasin mas Kartika Eka yang memang jadual penerbangannya hari Sabtu, sehari setelah rombongan besar lebih dulu meninggalkan Berau.

Untung mas Radja Mohammad dan bang Dale setia menemani kami menunggu jadual penerbangan keesokan harinya. Kami ber-5 kembali menginap lagi di hotel Cantika Swara tempat kami menginap sebelumnya di kota Berau.

Menjelang makan malam mas Radja Mohammad menawarakan kepada kami untuk memilih menu makan. 

"Mas kalau kepingin makan seperti kemarin di hotel boleh, dan bila kepingin suasana makan diluar juga boleh, silahkan pilih dan bebas, kita nyantai saja...." tawar mas Radja kepada kami.

"Pokok bisa kenyang Dja....." saut bang Dale, yang membikin kami tertawa.

Kami bertiga saling pandang, mas Arif Khunafi dan mas Kartika Eka memanadang ke arah saya pertanda dia menurut dengan keputusan saya nantinya.

"Kita makan di luar mas, kita makan santai, cari yang lesehan, dan kalau ada masakan yang dimasak orang Jawa....." kata saya, karena saya sudah kangen seminggu makan dengan menu makanan daerah tempat kami berpetualang.

"Oke setuju.... cocok banget dengan yang saya angankan semula.... " jawab mas Radja.

"Setuju..... lets go...." kata mas Eka, meski berasal dari Banjarmasin dianya asli orang Magetan tetanggan dengan saya.

"Aku oke-oke saja, nuruuuuuuuuuuut..... aja suara terbanyak." kata bang Dale, gerrr kami saling tertawa.

Kamipun berangkat dengan satu mobil, 3 orang dibangku belakang dan 2 orang di bangku depan agar mengurangi kesulitan parkir nantinya.

"Gimana mas?" kata mas Radja.

"Cari masakan Lamongan, bebek goreng atau apa gitu mas yang khas Jawa yang mudah di cari...." jawab saya.

"Langsung dekat pelabuhan saja, pelabuahan tempat kita turun dari Derawan kemarin, disana ada penjual begituan..." seloroh bang Dale yang asalnya dari Berau juga.

Mobil kami tepikan dan parkir tepat di depan warung tenda, ada warung tenda berjajar dengan menu masakan yang mirip, kami memilih yang paling ujung yang lebih mudah untuk memarkir mobil dan terlihat sepi dengan harapan segera terlayani. Lapar sudah mendera...

"Pesen apa mas?" tanya lelaki yang berjalan dari tempat penggorengan menuju tempat kami duduk, aksen suaranya medok seperti orang Jawa.

"Onone opo pak?" tanya saya.

"Sampeyan wong Jowo ya mas..... ono bebek, ayam, bawal, ikan putih...." jawabnya.

"Ojo takon lele nek kene, kene ora ono sing doyan lele..." katanya lagi sambil tersenyum, yang maksudnya jangan pesan ikan lele karena di Kalimantan tidak ada yang mau (doyan) ikan lele.

"Aku tak nyobak bawal wae pak.... waleh bebek towo ayam wae...." jawab saya. Saya memesan ikan bawal goreng karena sudah jenuh dengan bebek dan ayam. Mas Radja dan Bang Dale pesan bebek goreng, sedangkan mas Arif dan mas Eka memesan ayam goreng.

Tak lama kemudian makanan yang kami pesan sudah siap dan dihidangkan, bau harum masakan khas Jawa akhirnya bisa segera kami rasakan.

"Asli ngendi pak?" tanya mas Eka.

"Aku wong Mojokerto jenengku Sholeh mas, wis 5 tahun dodolan nek kene, yen sing sebelah kuwi wong Lamongan." jawabnya, dia mengenalkan namanya Sholeh asli dari Mojokerto, sedangkan yang berjualan di sebelahnya orang Lamongan.

Masakan lamongan dan Mojokerto itu mirip, hanya saja pada sambal orang Lamongan lebih terasa terasinya, sedangkan orang Mojokerto dan Surabaya lebih terasa tomat dan bawang merahnya. Hal itu saya nyatakan pada pak Sholeh.

"Kok apal sampeyan mas... mesti sering keluyuran lan sering njajan..." katanya setelah saya utarakan perbedaan sambal Lamongan dan sambal Mojokerto, dia memuji saya kok hapal, dan dia memastikan saya suka dolan keluyuran dan seneng njajan sambil tertawa.

"Mas yen nek kene ojo tanduk sambel, yen tanduk luwung tanduk iwake tak wenehi gratis...." katanya serius, kalau di Berau ini jangan nambah sambal, dari pada nambah sambal lebih baik nambah ikan akan diberinya gratis.

"La nyapo pak kok ngono...." tanya saya heran.

"Yen nek Jowo tambah sambel pirang layah tak turuti tapi yen nek kene pengin tambah iwak sepiro tak turuti, lombok lan bumbu nek Berau kene luwih larang tinimbang iwake mas...." jawabnya, Kalau di Jawa orang makan di lesehan kayak begitu sudah biasa menambah sambal, tapi kebalikanya kalau di Berau lebih baik nambah ikan dari pada nambah sambal, karena harga lombok dan bumbu lebih mahal daripada ikannya, katanya.

"Lombok sering numpak pesawat mas nek kene, kobis numpak pesawat... opo maneh wayah gelombang gede...."jelasnya lagi, Lombok sering naik pesawat begitupula kobis ketika gelombang air laut tinggi.

"Mau ndak mau yang terpaksa dibeli, itu bumbu satu-satunya di Kalimantan Lombok, bawang berangbang, dan kobis ndatangkan dari Jawa.." kata istri pak Sholeh.

Beruntung mas Arif Khunafi ndak doyan pedas sehingga sambalnya bisa saya bagi dengan mas Eka. Wakakakakaka kami suka pedas.

Menurut istri pak Sholeh selain  menu ikan goreng, bebek goreng, ayam goreng  warungnya menyediakan menu ikan masam-masam, ini menu masakan lokal orang Kalimantan. Dia menyesuaikan dengan selera masyarakat setempat.

Ikan dibumbu dengan sayuran segar di rebus di air mendidih diberi buah-buahan masam (kecut) seperti tomat, jeruk, dan buah belimbing wuluh. Dirajangi lombok dan bawang merah bawang putih. Dari baunya sih enak.

"Sampeyan gak bakalan doyan mas... rasane kecut" kata pak Sholeh, menceritakan rasanya kecut pasti saya ndak bakalan suka, katanya.

Tapi menurutnya orang asli Berau sini lebih memilih masakan menu ini dibanding yang digoreng dengan bumbu asli dari Jawa. Sedangkan sambal tersebut lebih di sukai pendatang dari Jawa yang banyak bermukim di Berau ini.

Saban hari pak Sholeh dibantu istrinya dan keponakanya. Berjualan mulai menjelang magrib sampai jam 11 malam. Dia di Berau mengontrak rumah, sedang anak semata wayangnya tingal dengan neneknya di Mojokerto. Istrinta saban 3-4 bulan sekali menengok anaknya sambil kulakan bumbu-bumbu.

"Lumayan mas..... wis kadung kebumen gelem ra gelem kudu diteleteni...." katanya, dia mengatakan lumayan hasil jualannya, terlanjur kerasan disini dan terlanjur mempunyai pelanggan mau tidk mau harus diteleteni. 

Kami juga lumayan, rindu kami pada masakan sehari-hari di Jawa terobati, luar biasa seperti dijenguk saudara dari ditempat jauh rasanya, imbuh pak Sholeh. Kami cepet akrab meski kami makan tak lebih 1 jam di warung tendanya.

*) salam jalan-jalan
*) salam kuliner

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun