"Aku wong Mojokerto jenengku Sholeh mas, wis 5 tahun dodolan nek kene, yen sing sebelah kuwi wong Lamongan." jawabnya, dia mengenalkan namanya Sholeh asli dari Mojokerto, sedangkan yang berjualan di sebelahnya orang Lamongan.
Masakan lamongan dan Mojokerto itu mirip, hanya saja pada sambal orang Lamongan lebih terasa terasinya, sedangkan orang Mojokerto dan Surabaya lebih terasa tomat dan bawang merahnya. Hal itu saya nyatakan pada pak Sholeh.
"Kok apal sampeyan mas... mesti sering keluyuran lan sering njajan..." katanya setelah saya utarakan perbedaan sambal Lamongan dan sambal Mojokerto, dia memuji saya kok hapal, dan dia memastikan saya suka dolan keluyuran dan seneng njajan sambil tertawa.
"La nyapo pak kok ngono...." tanya saya heran.
"Yen nek Jowo tambah sambel pirang layah tak turuti tapi yen nek kene pengin tambah iwak sepiro tak turuti, lombok lan bumbu nek Berau kene luwih larang tinimbang iwake mas...." jawabnya, Kalau di Jawa orang makan di lesehan kayak begitu sudah biasa menambah sambal, tapi kebalikanya kalau di Berau lebih baik nambah ikan dari pada nambah sambal, karena harga lombok dan bumbu lebih mahal daripada ikannya, katanya.
"Lombok sering numpak pesawat mas nek kene, kobis numpak pesawat... opo maneh wayah gelombang gede...."jelasnya lagi, Lombok sering naik pesawat begitupula kobis ketika gelombang air laut tinggi.
"Mau ndak mau yang terpaksa dibeli, itu bumbu satu-satunya di Kalimantan Lombok, bawang berangbang, dan kobis ndatangkan dari Jawa.." kata istri pak Sholeh.
Beruntung mas Arif Khunafi ndak doyan pedas sehingga sambalnya bisa saya bagi dengan mas Eka. Wakakakakaka kami suka pedas.
Ikan dibumbu dengan sayuran segar di rebus di air mendidih diberi buah-buahan masam (kecut) seperti tomat, jeruk, dan buah belimbing wuluh. Dirajangi lombok dan bawang merah bawang putih. Dari baunya sih enak.
"Sampeyan gak bakalan doyan mas... rasane kecut" kata pak Sholeh, menceritakan rasanya kecut pasti saya ndak bakalan suka, katanya.