Jujur saya belum familier dengan mobil baru keluaran Datsun ini, meski begitu nama besar Datsun sudah saya kenal sedari kecil. Dimana di daerah kami yang pegunungan diperbatasan Ponorogo-Pacitan mobil Datsun pik-up bak terbuka menjadi andalan dan tumpuan warga. Entah ada hubungannya dengan mobil Datsun Go+ Panca ini atau ndak saya belum sempat bertanya ketika mau berangkat ke Bandara Juanda.
Sebelumnya yang saya tahu tentang Datsun hanyalah Datsun pik-up yang saban hari ketika saya SMP tahun 90-an. Dulu mobil pik-up tersebut menjadi angkutan pelajar, para pelajar bergelantungan di bak belakang yang diberi semacam pagar seperti mobil datsun pik-up (foto bawah). Para pelajar perempuan di tengah dan para pelajar lelaki bergelantungan di samping dan belakang. Sekali angkut bisa mengangkut pelajar SMP dan SMA sekitar 25-30 an, kesemuanya berdiri karena tidak disediakan tempat duduk. Setiap anak membayar membayar 50 rupiah jaman segitu, pulang pergi 100 rupiah, jaman segitu bensin masih seharga 400-an rupiah.
Selain pelajar, pik-up tersebut sebagai angkutan barang dagangan ke pasar-pasar di Ponorogo. Bahkan para pedagang kain dan pakaian yang berkeliling dari pasar ke pasar masih mengandalkan kendaraan ini, seperti gambar di bawah ini yang saya potret di pasar Songgolangit Ponorogo ketika mau berangkat ke Kalimantan kemarin. Para pedagang pakaian tersebut mengemas dagangannya dengan anyaman bambu ukuran 1 meteran yang dilapisi dengan karung goni yang lebih sering mereka sebut bedag.
Bedag-bedag tersebut mereka tumpuk di bak belakang Datsun pikup sampai batas kabin depan, sementara para ibu-ibu pedagang pakaian intu duduk diatas bedag dengan santainya saban hari. Mereka berangkat sehabis subuh dan pulang menjelang jam 1 siang. Mereka berkeliling setiap pasaran (hari pasaran) ke pasar-pasar di daerah Ponorogo yang kebanyakan pegunungan. Luar biasa pik-up yang lebih tua daripada umur saya tersebut masih nggenthirit (melaju kencang) menapaki jalanan yang turun naik di daerah Ponorogo dan Pacitan. Sepulang dari kalimantan insyaalloh akan saya tunjukan poto ketika para ibu-ibu tersebut duduk diatas dagangan yang setinggi kabin.
Â
Lebih ngeri lagi ketika dikasih tahu oleh pedagang nasi goreng di depan hotel tempat kami menginap di Balikpapan, katanya jalannya mengerikan.
"Kalau ke Samarinda dan Berau itu ke atas mas, mas harus waspada, semakin ke utara semakin atas mas...." katanya pada waktu kami makan sore di lapaknya.
Semalaman saya tidak bisa tidur terlebih mas para pegawai hotel juga mengatakan hal yang sama, semakin utara semakin atas, dan semakin ke selatan semakin bawah, katanya.
Menjelang subuh mas Eka yang berasal dari Banjarmasin menjelaskan pada saya, maksudnya semakin utara semakin ats itu berdasarkan peta, berdasarka atlas. Sambil menunjukin peta pulau Kalimantan mas Eka menempelkannya pada dinding.
"Ini tak kasih lihat, artinya semakin utara semakin atas jika petanya ditaruh di dinding, tapai kalau di taruh di meja atau tempat tidur begini sama rata.." jelas mas Eka tapi saya masih bingung.
"Dalam peta atau atlas selalu utara di taruh di atas, begitu juga petunjuk rute atau jalan-jalan, jadi semakin ke utara terbacanya semakin atas, Kalimantan lebih rendah dari Filiphina, dan Jepang lebih tinggi dari Philipina, begitu sampai kutup utara." jelasnya lagi.
"Jadi pulau jawa lebih rendah dari Kalimantan, begitu juga Australia lebih rendah dari Jawa... paham belum?" jelas dan tanyanya lagi pada saya, baru saya manggut manggut artinya saya ngerti.
"Lokasinya mirip Magetan dan tempat mas di Ponorogo sana, yakinlah pasti bisa..." katanya lagi memberi semangat, mas Eka meski berasal dari Banjarmasin ternyata jaman sekolah dan kuliahnya di Magetan.
Sesampai di dieler Datsun-Nissan Sempaja samarinda kami para Kompasianer dibreving diberi pengarahan baik cara mengendalikan mobil yang akan kami bawa menuju perbatasan etape 2 maupun tentang safety, serta cara-cara berkendara beriringan.
Saya mendapat kesempatan pertama diantara team Riser kelompok 2, awalnya canggung karena seumur-umur baru kali ini membawa mobil sejenis sedan. Namun setelah 1-2 km bisa beradaftasi dengan tuas gas, kopling, rem dan kemudi. Dari segi power luar biasa, begitu juga kestabilan. Mungkin saja kalau ring atau ban lebih lebar akan menambah lebih ngleser-nya (nyaman). Dari segi kecepatan belum bisa menguji karena belum pernah menemukan jalan trek lurus untu memacu kendaraan. Jalanan yang naik turun dan berkelok yang mirip dengan daerah pegunungan di Ponorogo atau Pacitan. Luar biasa mobil tetep halus dan mudah diajak kompromi meski pesaing kami truk-truk besar yang sering kali menangan sedniri di jalan. Ditambah para pengemudi kendaraan roda 2 yang 'maaf' seenaknya sendiri belok atau motong jalan, mungkin ini tipikal atau sudah biasa di bumi Kalimantan.
Pukul 8 malam kami sampai di Q Hotel tempat kami menginap sebelum melanjutkan perjalanan esok pagi.Â
Tunggu cerita tentang perjuangan saya mendapatkan sunset seperti gambar di bawah ini, pada cerita berikutnya.
Â
*) salam jalan-jalan
*) salam kampret
*) salam koteka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H