Mimpi….
Mungkin saya satu-satunya perawat yang beruntung diantara Kompasianer yang diundang Presiden Jokowi santap siang di Istana Merdeka 2 pekan yang lalu.
“Jangan tegang, jangan terlalu serius mari makan dulu……” kata presiden akrab.
Sambil menaruh makanan dalam piring sang presiden terus akrab menyapa.
“Dari mana?”
“Kabarnya bagaimana?”
“Ayoo… makan yang banyak kasihan yang menyediakan kalau ndak dimakan….”
“Kerja dimana?”
Kata-kata sang presiden akrab seperti sudah saling kenal lama, kata sang presiden seakan tiada pembatas antara penghuni istana dengan orang luar istana.
Satu per satu kompasianer maju ke depan mengutarakan ganjalan, maupun harapan pada sang presiden.
Seorang guru mengutarakan keadaan dan harapan tentang pendidikan. Seorang mahasiswa mengutarakan keadaanya dan harapan terhadap masa depan setelah selesai kuliah.
Seorang TKI berbicara sambil menangis mencerikan kondisi ketenaga-kerjaan di luar negeri yang kurang perhatian. Seorang ekonom memberi masukan tentang pertumbuhan ekonomi buat negeri.
Seorang pekerja seni dari Bali mengungkapkan kegalauanya tentang situasi pariwisata di Bali yang terusik issue SARA.
Saya menyiapkan catatan kecil, tentang apa yang saban hari saya alami dan harapan kepada sang presiden dari apa yang saya utarakan. Saya menunggu giliran namun waktu sudah hampir menunjukan pukul 2 siang dan pertemuan harus segera diakhiri. Saya tidak kecewa belum sempat mendapat kesempatan.
“Saya sering membaca Kompasiana sering sampai jam 2 malam…” kata sang presiden.
“Tulisan anda membuat optimisme, tulisan anda ada rasa motivasi, meski tak sedikit yang berisi caci…..” kata sang presiden yang disambut gelak tawa.
“Tulis saja harapan dan cerita anda, yakinlah pasti nyapai istana…” janji sang presiden.
Seusai foto bersama dan salam-salaman pamitan sang presiden masih menyempatkan melayani para kompasianer yang meminta tanda tangan. Dengan sabar dan terus ngobrol sang presiden melayani tanda tangan sampai-sampai membuat uring-uringan para petugas paspampres.
“Dari mana?” kata sang presiden
“Ponorogo pak, hutan kayu putih yang presiden hadir waktu panen raya jagung…” jawab saya, sang presiden manggut-manggut dan terus melayani tanda tangan.
“Saya seorang perawat, kami mohon Jampersal di hidupkan lagi…” kata saya, sang presiden berhenti sejenak memberi tanda tangan.
“Jampersal? Tulis saja nanti pasti saya baca….” Janji sang presiden sambil terus menatap saya.
Sayapun menaruh kedua telapak tangan di depan dada, memberi salam hormad dan saya mundur agar para kompasianer yang lain bisa mendekat sang presiden.
Lalu saya buka lipatan kertas yang tadinya saya siapkan bila mendapatkan giliran berbicara di depan panggung.
Tulisan tersebut seperti di bawah ini;
Selamat siang bapak presiden,
Saya Nanang Diyanto berasal dari Ponorogo, saya seorang perawat di salah satu rumah sakit milik pemerintah yang saat ini sedang giat-giatnya penilaian Akeditasi yang ujungnya ‘Pacient Sepcty' tentang 'Keselamatan pasien' mungkin kalau di perusahaan mirip ISO.
Kebetulan saban hari bekerja di bagian kamar operasi kebidanan dan kandungan, angka kematian ibu bersalan dan bayi baru lahir masih tinggi. Di mana saban hari melihat susahnya rakyat kecil menghadapi pembiayaan dalam persalinan. Yang ujungnya pada kematian ibu dan bayinya.
Dahulu jaman awal presiden SBY pernah ada program JAMPERSAL dimana semua ibu bersalin dan bayinya tercover oleh program tersebut, dengan syarat mau ditempatkan di perawatan kelas 3.
Penempatan di kelas 3 ini otomatis bisa menyaring mana yang berhak dan mana yang tidak berhak, orang kita sering gengsi bila ditaruh di kelas 3, namun tak jarang pula orang kaya yang nekat mau ditempatkan di kelas 3.
Menjelang berahirnya tugas presiden SBY program Jampersal ini di hapus dan digabung dengan BPJS, bagi yang tadinya mempunyai kartu Jamkesmas otomatis masuk BPJS. Sedangkan yang tidak punya harus membayar secara mandiri. Dan hal inilah pelayanan persalinan yang tadinya ditanggung Negara menjadi mundur kembali, yang akibatnya faktor pembiayaan yang menjadi kendala.
Untuk itu mohon keberadaan JAMPERSAL ditinjau kembali, atau terserah apapun namanya asal semua ibu bersalin bisa tercover. Kami yakin bila faktor biaya bisa atasi angka kematian ibu bersalin dan bayi baru lahir bisa ditekan.
Demikian harapan kami, mohon maaf bila kurang berkenan, sekali lagi terima kasih atas santap siangnya.
Hormat saya
Nanang Diyanto.
Lipatan kertas itu tidak saya buang, saya taruh lagi dalam dompet dan saya tulis ulang ditulisan ini. Saya yakin sang presiden akan membaca cerita dan harapan saya, seperti janjinya.
Dahulu sasaran dijamin oleh Jaminan Persalinan adalah : Ibu Hamil, Ibu Bersalin, Ibu Nifas (sampai dengan 42 hari pasca melahirkan) dan Bayi Baru Lahir (sampai dengan usia 28 hari) dengan persayaratan yang minimal, penyalah-gunaan minim karena sudah jelas peta sasaran. Hanya saja petugas dari fase I sampai rujukan yang perlu pengawasan, seperti kebocoran BPJS sekarang ini.
Dalam tulisan ini juga saya lampirkan tentang kesedihan yang saya maksud, Meregang nyawa di hari ibu
Semoga angka kematian ibu bersalin dan bayi baru lahir bisa ditekan, semoga pemerintah mendapat solusi yang terbaik untuk menekan meningkatnya angka ini. Semoga bisa menjadi kado buat ibu-ibu di Hari Ibu tahun ini.
*) Terimakasih atas santap siangnya Pak Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H