"Selamat Hari Ibu....."Â
"Selamat Hari Ibu....." Bisikku lirih pada wanita dihadapanku yang mulai membiru. Tak ada lagi sengal nafasnya, tak ada lagi desah gelisahnya, tak ada detak jantungnya. Dia diam membujur dan menyerah pada Sang Maut yang telah menjemputnya. Sementara lelaki setengah baya yang berada disampingnya telah lunglai pingsan.
Anak kecil seusia anak-ku (TK) menangis sesenggukan sambil mengguncang-guncang kaki ibunya yang mulai membeku, dia terus mengguncang kaki ibunya berharap ibunya bangun kembali. Para petugas baik dokter dan perawat menunggu dan melepas kepergiannya, tak terasa air mataku ikut meleleh. Ibu ini meregang nyawa tepat di Hari Ibu yang diperingati ribuan para Ibu.
Operasi pengangkatan kandungan (histerectomie) tak mampu menyelamatkan nyawanya meski perdarahan hebat sudah berhasil dihentikan. Datang dalam kondisi syok karena perdarahan hebat, pemberian tranfusi darah dan cairan pengganti hanya membuatnya bertahan seentara. Dengan dilakukannya operasi diharapkan perdarahan bisa dihentikan dan cairan dan darah yang keluar bisa segera diganti. Namun dia hanya bertahan 2 jam paska operasi.
Keluarga sudah diberitahu kondisi yang sebenarnya, pilihan yang serba sulit bagi keluarga, tidak dioperasi mati dioperasi juga resikonya tinggi. Inform consent telah diberikan baik manfaat operasi maupun reskio operasi, dan keluarga sudah menyetujui. Operasi ecepatnya adalah satu-satunya jalan untuk penyelamatan.
Dia adalah salah satu dua pasien kiriman dari daerah pinggiran yang mempunyai kasus yang sama. Ibu yang telah diam membisu ini dikirim oleh bidan setempat, ibu ini habis melahirkan putra keduanya pagi setelah subuh. Menurut bidan pengirimnya kontraksi uterusnya lemah sehingga uterusnya (rahim) tak kunjung mengecil, sementara luka bekas placenta masih menganga. Pada kondisi norma uterus langsung berkontraksi dan mengecil, begitu pula pembuluh-pembuluh darah dalam rahim, sehingga dengan mengecilnya rahim dan pembuluh darah otomatis mengecil pula luka bekas insersi plasenta (ari-ari). Keduanya sama-sama mengalami gangguan kontraksi paska lahirnya plasenta, hanya saja yang satunya berhasil diselamatkan meski sama-sama dengan tindakan pengangkatan kandungan seperti dirinya.
Perjalanan dari tempat praktek bidan pengirim dengan rumah sakit kurang lebih 1-1,5 jam perjalanan, karena jalanan ramai di pagi hari musim anak sekolah dan para pekerja berangkat ke tempat kerja. Juga tidak berani menyalahkan bidan pengirim tentang observasi dan evaluasi setelah persalinan, karena biasanya kejadian ini begutu cepat terjadi. Meski ada tindakan-tendakan sementara untuk merangsang kontaksi ataupun tindakan untuk menghentikan darah namun tak juga mampu mengentikan perdaraan. Lagi pula agar keluarga tidak serta merta menyalahkan bidan yang telah mati-matian menolong persalinan dan berpacu dengan waktu mengirimnya ke rumah sakit.
Bukan mencari salah dan saling menyalahkan, namun pertolongan yang cepat bisa menyelamatkan nyawa si ibu dari banyaknya kehilangan darah.
Yang aneh keduanya sama-sama terjadi menjelang Hari Ibu. Sungguh berat perjuangan mereka bertaruh nyawa dalam melahirkan anak-nya.
Menurut data di Depkes perdarahan merupakan penyebab paling banyak pada kematian ibu melahirkan di Indonesia. Angkanya bisa mencapai 40-60%.
Lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat insersi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir yang dalam bahasa medis disebut Atonia Uteri, menjadi penyebab terbanyak perdarahan paska persalinan. Pada kondisi norma 15 detik setelah plasenta lahir seharusnya sudah terjadi kontraksi, seringkali penolong persalinan melakukan masase atau pemijatan di daerah bawah pusat (uterus) untuk merangsang kontraksi. Utreus yang lembek dan tidak mau mengecil adalah tanda-tanda atonia uteri ini yang diikuti perdarahan hebat lewat jalan lahir.