Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memotret Mereka yang [ber]Cinta di Panggung Sirkus

10 Desember 2015   04:04 Diperbarui: 10 Desember 2015   04:44 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tak hanya ganteng dan cantik, sepasang akrobatik dari Kroasia ini juga lincah sehingga membuat para remaja histeris"][/caption]

Kedua insan berbeda jenis kelamin berjalan dari arah dan jalan yang berbeda, keduanya seakan-akan berjalan tanpa arah dan tujuan. Pandangan mereka kosong seperti orang kebingungan. Sedang mencari tapi entah apa yang dicari. Lampu penerangan yang temaram membuat mereka saling tidak nampak. Ketika keduanya sesampai ditengah lampu menyala dan membuat pertemuan yang tak terduga. Ada isyarat mereka saling membutuhkan. Mungkin mirip pertemuan antara Hawa dan Adam yang berjodoh namun terpisah beribu-ribu tahun. Pandangan mereka saling bertatap, dari pandangan pertama ini mereka saling menemukan kesepadanan, kecocokan, dan saling ketertarikan.

Kedua insan ini berkejaran, keduanya tak mampu menutupi emosi, mereka saling jatuh cinta. Mereka berlarian kesana kemari dengan lemah gemulai. Mereka dilanda asmara nalar mereka semakin tak terkendali. Mereka saling meloncat, saling menghindar, saling menggapai mirip jinak-jinak burung merpati, didekati berlari dan ditingal mencari. Mereka kasmaran, mungkin mereka sedang dibutakan oleh cinta pandangan pertama. 

Cinta membuat mereka  melayang, menggapai keinginan, menggapai cita-cita. Mereka sepadan merasa seimbang, mereka merasa saling pantas. Mereka memutuskan terbang bersama menggapai hidup berdua, yang lelaki kokoh melindungi dan si perempuan lembut mengimbangi. Seutas tali mengikat mereka dalam kata cinta, tali kokoh tersebut menjadi ikatan cita yang membara, tali itu membawa mereka bahagai terbang melintasi awan menapaki udara. 

Mereka (ber)cinta diudara. Mereka saling menjaga dan saling berpegang pada tali cinta untuk menggapai cita-cita. Perselisihan dan cobaan terkadang menimpa mereka, mereka berkeluarga diudara, mereka menyelesaikannya diudara pula. 

Pertemuan, jatuh cinta pandangan pertama, saling jatuh cinta, saling bekerjasama, perselisihan, penyelesaian konflik mereka mainkan dengan cantik dan harmonis. Berkali kali para remaja terpesona dan bekali-kali pula berteriak histeris.

 
 
Gambar dan cerita diatas adalah sepenggal kisah cinta yang ditampilkan oleh pemain dari Kroasia team dari Oriental Sicus Indonesia di alun-alun Ponorogo sebelum grebeg Suro kemarin. Hampir sebulan penuh masyarakat Ponorogo dihibur permainan akrobatik ini. Mereka rela mengantri agar bisa menyaksikan kesempatan langka ini. Pada awal-awal penontonnya didominasi oleh anak-anak dan ibu-ibu, namun menjelang minggu ke 3 para penonton usia remaja lebih banyak terlihat.

Padatnya penonton dan situasi panggung harus jeli dari mana saya bisa memotret, sebelum masuk saya membeli tiket VIP, saya beranggapan kalau dari tempat duduk VIP pasti tempatnya lebih dekat dengan pemain, dan saya bisa lebih bisa leleuasa memotret. Sesampai didalam saya kebingungan meski tempatnya lebih dekat dengan panggung permainan namun pemandangan terhalang oleh tiang-tiang pancang dan tali-tali tenda raksasa. Meski posisi bisa dari depan  tapi saluran AC yang bertujuan membuat nyaman penonton VIP malah mengganggu pandangan yang hoby memotret.

Saya cari akal, mencoba mendekat pada penjaga yang berada di batas antara VIP dan Kelas 1 ijin untuk tukar posisi namun penjaga tidak memerkenankan karena ditakutkan pemilik tiket kelas 1 tidak kebagian tempat. Akhirnya saya dan anak saya pura-pura ijin ke toilet, kebetulan toilet berada di dekat pintu masuk bagian selatan tenda raksasa tersebut.

"Kelas pinten bu..." tanya saya pada ibu-ibu yang sedang menuntun anak seusia TK.

"Kelas 3 mas.... "jawabnya.

"Kalau kelas 3 nanti belok kiri bu terus agak naik sedikit....." kata saya sok seperti petugas.

"Gini aja buk, tiket saya yang VIP ibuk pakai saja, biar tiket ibu yang kelas 3 nanti tak pakainya....." tawar saya.

"Mesakne putrane njenengan larang-larang, regane mawon lipet ping telu...." tolak ibu ini, karena si ibu ini merasa sungkan karena harga tiket VIP 3 kali lipat tiket ekonomi.

"Sudah ndak apa-apa, pakai saja buk...." kata saya sambil menyerahkan sobekan tiket tersebut, dan si ibu pun menyerahkan, kami saling bertukar.

Saya lihat ibu dan cucunya begitu bahagia duduk di VIP, dan saya juga bisa tertawa lega bisa mencari tempat duduk di perbatasa kelas 3 dan kelas 1. Dari tempat ini kamera saya bisa leluasa tanpa halangan tinang pancang dan saluran AC. Saya tidak perlu berdiri untuk memotret, cukup duduk diketinggian saya bisa memotret sesuai cita-cita ketika duduk di kursi VIP tadi. Terkadang perlu akal dan perlu kelicikan, namun tidak boleh ada yang dirugikan, kalau bisa saling menguntungkan.

Inil adalah masalah Lingkungan Sekeliling, mungkin yang disebut oleh orang potograpy merupakan kunci keberhasilan dimana kita harus jeli sudut mana kita bisa mengambil gambar yang paling leluasa, tanpa merugikan orang lain atau bahkan menggangu pemain.

Berkali-kali saya kehilangan moment, pencahayaan yang temaram membuat kamera saya harus bekerja dengan ektra dan terasa lelet. Untuk mengatasi masalah ini ISO saya buat otomatis dengan tujuan biar gantian kamera yang berpikir.

Begitu juga kecepatan shuter saya buat 1/100, sebelumnya saya mengotak-atik mulai kecepatan diatas 1/500 dan turun-turun akihirnya saya lebih merasa pas di 1/100 atau 1/80. Karena saya tidak bisa mengandalkan lensa karena kebetulan saya cuma membawa lensa bukaan (diagfragma) besar.

Saya juga tak mau ambil pusing, saya menekan shuter seperti orang yang tentara menembak musuh, sekali menembak diatas 10 tembakan dalam per detiknya. Saya berharap tidak ketinggalan moment. Karena terkadang hsiterisan penonton membuatnya banyak gerakan yang menghalangi jepretan saya. Mungkin orang fotography menyebutnya Continus Auto atau Brust, tapi saya lebih suka mengistilahkan menjahit karena suaranya seperti orang menjahit. Wakakakakakakaka

Ada satu hal lagi saya tidak menggunakan flash, saya takut kilatan lampu saya menggangu para pemain yang bergelantungan, saya takut membuat para pemain ini silau akibat cahaya dari kamera saya.

Binatang-binatang seperti gajah, harimau, ataupun monyetpun mungkin akan terganggu dengan lampu flash. Ini alasan saya karena semenjak punya kamera belum sekalipun menggunakan lampu flash, baik flash bawaaannya sekalipun.

Saya mengandalkan arah lampu panggung dan warna-wani lampu panggung, dimana harus menjepret dan dimana mubadzir memotret.

Tapi entahlah, pasti tiap orang mempunyai cara dan rahasia sendiri-sendiri. Ini hanya tentang kelicikan saya agar bisa memotret saja. Mengabadikan mereka yang (ber)cinta di panggung sirkus, mereka yang menebar cinta di panggung sircus, baik cinta sesama pemain, maupun cinta para pemain pada binatang sirkus, begitu sebaliknnya cinta binatang tersebut kepada para pawangnya sehingga mereka terlihat akur dan menurut. Mereka(ber)cinta dipanggung Sirkus.

 

*) salam Njpret
*) salam Kampret
*) memotretlah sebelum mootret haram

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun