"Bila Pasien Itu Saya....." atau "Bila Pasien Itu Shinta....."
Saya tertegun ketika mendengar perkataan dr. Praminto Nugroho SpM. Perkataan tersebut diutarakan ketika memberi pembekalan pada petugas di rumah sakit tempat kami bekerja dalam menangani komplin (Pelatihan Managemen Komplin) tadi pagi.
"Bila kita sudah melakukan pekerjaan sesuai prosedur dan aturan yang ada sebenarnya secara hukum sudah selesai, namun itu belum cukup...." kata dokter spesialis mata yang lebih akrab dipanggil 'Pak Itok' tersebut.
Sebagai manusia yang berbudaya dan memegang adat ketimuran tentunya harus ada perlakuan lebih, kalau hanya berdasar SPO (standar) pastilah terasa kaku, dan tentunya akan berujung konflik, dan ujungnya akan banyak komplin dari masyarakat yang kita lanyani, kata Pak Itok lebih lanjut.
Bila Pasien Itu Saya, tentunya kita berharap lebih dari pelayanan yang diberikan, minta ingin diperhatikan, minta di nomor satukan, minta didengar, minta ini minta itu…..
“Bila Pasien Itu Shinta, tentunya saya akan melakukan yang terbaik melebihi apa yang saya inginkan…..” kata Pak Itok, Shinta adalah nama istri beliau, makanya beliau membuat nama istri tercintanya sebagai perumpamaan,
Bila dalam melayani pasien selalu mengingat ‘Bila Pasien Itu Saya atau Bila Pasien Itu Shinta’ dr. Praminto menjamin pasien yang dilayani merasa puas, terhindar dari konflik, dan komplin berkurang. Dr Praminto lebih suka menyingkat ‘BPIS’.
Meski begitu dr. Praminto tidak serta-merta mengharamkan komplin ataupun keluhan.
Dr. Praminto beranggapan komplin adalah hadiah, kritik adalah masukan, protes adalah perbaikan, sehingga rumah sakit mendapat pembelajaran dari sumber yang sebenarnya, sumber langsung dari orang yang dilayani. Ibarat suatu kesalahan kita tidak boleh mengulangi kesalahan pertama, kita dieberi kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Pasien dan pelanggan masih mempercayai kita, dan berharap ada perbaikan ketika dia datang lagi pada kita.