Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tradisi, Tahayul, dan Harapan dari Suatu Perayaan

21 Oktober 2015   21:04 Diperbarui: 22 Oktober 2015   08:28 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali pertama kirab pusaka tidak melewati jalur yang sudah bertahun-tahun menjadi tradisi dilewati, selama ini rute kirab berawal dari komplek makan Raden Katong melewati Pasar Pon, perempatan Pasar Songgolangit, perempatan Tambak Bayan dan berakhir di pendopo atau paseban kabupaten Ponorogo, jalur ini sudah puluhan tahun digunakan kirab, jalur ini lebih pendek dan nyaris lebih simple dibanding jalur yang kemarin dilalui kirab.

Jalur kirab lama  dari arah belakang komplek kabupaten Ponorogo. Jalur lama lebih lurus dan menjadikan titik kumpul yang lebih banyak dan lebih dapat mengurai kemacetan, sehingga jalan-jalan alternatif bisa berfungsi, mungkin alasan ini yang melatar belakangi pihak panitia sebelumnya mengapa melewati perempatan Tambak Bayan. Sedangkan jalur yang dipakai waktu kirab grebeg Suro 2015 ini dari perempatan Pasar Songgolangit belok ke selatan sampai pertigaan Ngepos, lalu belok ke barat jalan Jenderal Sudirman dan masuk dari arah depan pendopo atau paseban kabupaten Ponorogo.

Jalur yang kemarin dipakai  konon jalur yang dipakai waktu boyongan kali pertama dari kota lama ke kota yang sekarang. Kirab ini adalah prosesi mengenang perpindahan pusat pemerintahan dari kota lama ke kota baru kota yang sekarang ini dipakai sebagai pusat pemerintahan.

Banyak pergunjingan, rasan-rasan, serta ketakutan, bahkan ada satu keoptimisan dari perubahan dalam perayaan tradisi ini, berikut ini ceritanya;

Menurut pak Nardi salah satu juru kunci, biasanya setiap perubahan merupakan firasat atau tanda ke arah satu tahun kedepan.

"Kulo sampun 4 dinten 4 dalu dereng tilem mas...., masio kulo pekso nggih mboten saget tilem, biasane bade wonten kabar, tibakno jalure liwat pusoko di-ubah." cerita pak Nardi, sudah 4 hari 4 malam tidak bisa tidur, meski dipaksa juga tidak bisa terpejam, kalau ada kejadian demikan katanya ada kabar atau pertanda, ternyata ada perubahan jalur lewatnya pusaka."

"Yen rumiyin lewate pusoko saking wingkin omah, lan ingkang bade kaleksanan iki lewat ngajeng kados jaman pindahing pamerintahan rumiyin..." cerita pak Nardi, dulu lewatnya pusaka dari belakang pendopo dan sekarang lewat depan seperti jaman perpindahan pemerintahan dahulu.

"Mugi mbeto kerahayan wilujeng, andadosaken kebecikan kabupaten Ponorogo wonten tahun ingkang bade kaleksanan..." harapan pak Nardi, semoga membawa keberkahan buat kabupaten Ponorogo di tahun yang akan berjalan.

Beda lagi dengan pak Jono yang sama-sama berada dikomplek makam, dia mengatakan ini pertanda baik dimana tahun-tahun yang lalu banyak ketidak beresan, senang main belakang, senang lewat jalur belakang sehinga koropsi dan nepotisme marak di Ponorogo. 

"Niki pirasat sae mas, yen sakdangune niki katha sing lewat jalur mburi podo nrabas golek jalan tol, mugi-mugi mbalik lewat ngarep pendopo ben kuthone toto, ben podo lewat jalur sing bener, jalur sing diidam-idamne wong prasojo jaman riyen.." katanya, kali ini merupakan firasat baik, kaena selama ini banyak yang suka mengambil jalan pintas, jalur belakang, lewat belakang, dia berharap dengan perubahan lewat jalan depan ini merupakan awal yang baik lewat jalur yang benar, jalur yang dicita-citakan oleh para pejabat masa lalu.

Banyak orang yang kecelik (tidak tahu) dan masih banyak menunghu di jalan Urip Sumoharjo padahal jalur dirubah melewati jalan Soekartno Hatta sperti gambar diatas.

"Kulo wau kecilik mas, kadung entuk panggonan iyup lan penak teng kilen pasar, e la kok gal liwat-liwat malah liwate ngidu;, lajeng kulo mlampah dateng jalan Soekarno-Hatta niku wau......" kata pak Solekan yang datang bersama cucunya. Dia sudah menunggu di barat pasar, dan sudah mendapat tempat teduh dan nyaman, ditunggu lama tidak lewat malah lewatnya ke arah selatan, akhirnya ia berjalan ke arah jalan Soekarno-Hatta yang dilewati kirab.

"Yen tiyang Jawi niku pengine yen ganti tahun ngeteniki jawah deres, mungi-mugi mbenjing enjing udan deres, niku pertandane kemakmura ing tahun ngajeng mas..." katanya lagi, orang Jawa mengharap hujan deras ketika pergantian tahun, karena hujan deras merupakan pertanda kemakmuran untuk tahun kedepan.

Acara kirab kemarin didahului oleh marching bands dari beberapa sekolah di Ponorogo, mulau dari tingkat SD, SLTP, sampai SLTA mereka sebagai pembuka jalan, sebagai cucuk lampah sebelum peserta arak-arakan.

Pengusung pusaka tombak Tunggul Nogo dan Cinde Wulung di uarutan berikutnya, pusaka dibawa oleh para pegawai kabupaten dan perwakilan dari dinas yang berada di kabupaten Ponorogo.

Bupati dan rombongan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) berada di belakang iring-iringan pusaka, Ketua DPRD, Sekwilda, Kapolres, Dandim, Kepala Kejaksaaan, Kepala Pengadilan, Para Kepala Dinas dan Departemen, Para Direktur yang berada di bawah bupati, para camat mengikuti dibelakang bupati.

Putri Songgo Langit yang diperankan oleh Puteri Indonesia Persahabatan 2015 Lestari Adelia, diikuti Finalis Kakang Sendhuk Ponorogo 2015.

Rentetan sejarah Ponorogo dari masa ke masa dipertontonkan, mulai dari jaman Wengker sampai jaman sekarang, pakaian adat dari masa-masa, busana dan persenjataan prajurit, serta tata rias para putri pada jaman masing-masing era di balut apik yang diperagakan oleh siswa-siswa tingkat SMP dan SMA yang ada di kabupaten Ponorogo.

Acara kirab berakhir di depan paseban dan pendopo kabupaten Ponorogo, dilanjutkan Tumpeng Porak, tumpeng yang berisi makanan dan hasil pertanian yang diperebutkan oleh para masayarakat yang sudah lama menunggu berakhirnya kirab, tua muda, lelaki perempuan saling berebut, mereka meyakini mendapat keberkahan dari makanan dari tumpeng yang diporak dan diperebutkan ini.

Tradisi, tahayul, dan harapan dari suatu perayaan merupakan cerita tersendiri dari masing-masing orang. Lambat laun terus berubah dan berkembang menyesuaikan jaman, serta menjadi salah satu dalan Pesona Indonesia.

Sumber foto; Nanang Beku, Damar Sasongko Beku, Daniel Raharjo Beku

"Selamat datang di Kota Reyog, Selamat datang di Ponorogo kota budaya"

 

 

*) salam budaya
*) salam njepret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun