Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lestari Adhelia: Puteri Indonesia Persahabatan 2015 Mengunjungi Pengrajin Reyog

13 Oktober 2015   00:18 Diperbarui: 13 Oktober 2015   05:09 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 12 Okteber 2015

Pengrajin reyog adalah identik dengan kaum lelaki, mulai dari pekerjaan kasar sampai pekerjaan yang halus yang mengerjakan kaum lelaki, dan hanya dalam pemasaran kadang kaum perempuan mulai terjun. Lestari Adhelia dia adalah Puteri Indonesia Persahabatan 2015 yang sedang melakukan lawatan ke Ponorogo dalam rangka perayaan Grebeg Suro, agenda tahunan pariwisata dan keagamaan di Ponorogo. Padatnya jadualnya sebagai duta Puteri Indonesia dia menyempatkan diri mengunjungi pengrajin reyog yang berada di daerah Kerun Ayu, jalur utama Ponorogo-Wonogiri. Tepatnya di rumah pak Sarju yang sudah puluhan tahun menggeluti kerajianan reyog dan perkakas reyog.

Banyak perbincangan, pertanyaan, dan apresiasi dari Puteri Indonesia ini. Pribadinya yang luwes dan mudah akrab memudahkan bersahat sehingga tak heran terpilih sebagai Puteri Indonesia Persahabatan 2015. Sebagai contoh ketika menemui pak Sarju yang sudah sepuh dengan sopannya dia memperkenalkan diri, namun pak Sarju menjawab sapaan dengan memakai bahasa Jawa. Diapun lantas menggunakan bahasa Jawa untuk mengimbangi pembicaraan dengan Pak Sarju.

"Dalem Lestari Adhelia Puteri Indonesia bapak...." katanya dengan halus.

"Oo nggih nak monggo pinarak mlebet ..." jawab pak Sarju sampil mempersilahakan masuk.

Dia terpukau dengan ketelatenan anak-anak pak Sarju, mulai merangkai bulu merak kedalam kerangka (dadag), berkali-kali dia memegangi bulu merak yang indah biru kehijauan. 

"Ini bulu merak asli mas?" tanyannya.

"Bener mbak, ini bulu merak impor dari India." jawab anak pak Sarju.

"Tempat kita sudah jarang ada merak, dan yang membedakan merak India dan Indonesia cuma warna, kalau merak Indonesia warnanya cenderung biru berkemilau, sedangkan kalau merak India berwarna hijau kemilau...." imbuhnya lagi.

"Ini dari merah hidup lalu disembelih mas?" tanyanya semakin serius

"Ini bulu merak yang sudah berodol atau rontok, atau merak yang sudah mati mbak..." jawab anak Pak Sarju.

"Oww saya kira dari burung merak yang masih hidup, kan kasihan dan dilindungi kan mas?" sambil manggut-manggut, rasa penasarananya mulai mendapat jawaban.

Menurut Kakang Senduk yang mendampingi Puteri Indonesia ini, pada tahun lalu rombongan reyog yang membawa dadag merak tidak boleh masuk Thailand karena dianggap penyiksaan dan membunuh hewan yang dilindungi. Setelah diberi keterangan serta bukti-bukti akhirnya group kesenian reyog tersebut bisa tampil di negara tersebut. Sebelum berangkat ke Thailand sudah disediakan dokumen-dokumen yang diperlukan, karena itu merupakan salah satu kendala yang harus dihadapi.

"Awalnya reyog memakai burung merak yang diawetkan mbak, dan ketika merak sulit didapatkan diakali dengan merak imitasi seperti ini mbak..." kata anak pak Sarju sambil menunjukkan merak-merakan yang dipasang dalam reyog dadag.

Rasa penasaranpun kembali menghampirinya, dengan takut-takut ketika mendekat barongan yang menyerupai kepala harimau. Banyak pertanyaan yang diajukan, terutama tentang perlindungan satwa langka, satwa yang seharusnya tidak boleh dibunuh untuk diambil sesuatunya.

"Ini kepala hari mau betulan mas?" tanyanya yang mengundang tawa.

"Bukan mbak ini kepala reyog, ini yang dinamakan barongan, ibi topeng besar yang dibentuk menyerupai harimau mbak, dan bukan kepala harimau..." jawab mas Darsono salah satu keponakan pak Sarju.

"Maksud saya apakah ini kulit harimau mas?" tanyanya sambil tersenyum, dia bermaksud mempertegas pertanyaannya yang tadi.

"Ini kulit lembu mbak yang dibikin mirip dengan kulit harimau, nanti saya tunjukin dibelakang proses pembuatan dan pewarnaannya..." jawab mas Darsono.

Sebelum tahun 80-an kepala reyog berbahan kulit harimau asli, dulu kepala reyog (barongan) tidak boleh disentuh oleh perempuan, barongan ini begitu di sakralkan. Diirawat dan beri sesaji setiap malam Jumat. Diberi wewangian dan dibakari dupa dibawahnya. Entah mengapa setelah era tahun tersebut  larangan tersebut sudah hilang dengan sendirinya, apa mungkin karena bukan kulit harimau? Tidak tahulah.

Sejak saat itu seringkali penari jathilan perempuan atau tamu dipanggul di atas kepala reyog tanpa rasa takut kuwalat seperti dulu lagi.

Sampai ruang belakang ditunjukan cara membikin kulit lembu berubah menjadi kulit harimau, kulit lembu diberi warna loreng sesuai alur warna kulit macan dengan menggunakan cat yang halus, cat tersebut cat khusus mirip cat rambut yang tahan air dan tahan panas. Warnanya menyesuaikan dengan warna kulit jenis hariamau yang dikehendaki.

Dengan seksama Puteri Indonesia ini memperhatikan tahap demi tahap. 

"Ini kayak wig ya mas?" tanya sambil tersenyum.

"Itu buntut sapi mbak, buntut-buntut sapi ini dipasang untuk rambutnya barongan dan ganongan yang seperti diunjung itu mbak..." jawab mas Darsono sambil menunjuk ke arah temannya yang sibuk memasang rambut yang berasal dati buntut sapi ini ke ganongan (topeng).

"Awas kotor mbak tangannya...." kata mas yang sibuk memasang rambut pada ganongan.

"Tidak apa-apa mas, nanti ya cuci tangan..." jawabnya sambil terus memgangi rambut-rambut ekor sapi.

Ada kebaggaan tersendiri dengan mengetahui langsung proses pembuatan reyog ini, Lestari Adhelia mengatakan, "Saya takjub dengan kesenian reyog, saya salut pada pak Sarju dan kelurganya dalam melestarikan kesenian adi luhung ini."

"Yang membuat saya lega adalah ternyata bahan dari reyog ini bukan dari hewan hidup, hewan yang dilindungi seperti cerita yang berkembang, ternyata bulu meraknya impor dan itupun dari bulu merak yang sudah rontok, begitu pula kulit harimaunya ternyata kulit sapi yang dibuat sedemikian rupa." katanya lebih jelas lagi.

Perlu diketahui pak sarju ini bukan satu-satunya pengrajin reyog di Ponorogo, masih ada puluhan pengrajin lain yang mengalami kendala serta tantangan yang sama yaitu dengan perlindungan satwa yang hampir punah.

Menurut pak Sarju permintaan menjelang festival seprti ini meningkat, dalam satu stel reyog (dua dadag merak kompilt dengan kepala) bisa dia penuhi dalam 2 bulan. Permintaan kali ini dari daerah Sumatra dan Kalimantan. Semakin sulitnya mendapat bulu merak semakin mahal pula harga yang diberikan. Cinta terhadap seni tak menghalangi para pecinta seni untuk menebusnya, kata pak Sarju.

 

"Selamat datang Di Ponorogo Kota Budaya, Selamat datang di Bumi Wengker"

 

*) salam budaya
*) salam kampret
*) salam njepret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun