"Ini kayak wig ya mas?" tanya sambil tersenyum.
"Itu buntut sapi mbak, buntut-buntut sapi ini dipasang untuk rambutnya barongan dan ganongan yang seperti diunjung itu mbak..." jawab mas Darsono sambil menunjuk ke arah temannya yang sibuk memasang rambut yang berasal dati buntut sapi ini ke ganongan (topeng).
"Awas kotor mbak tangannya...." kata mas yang sibuk memasang rambut pada ganongan.
"Tidak apa-apa mas, nanti ya cuci tangan..." jawabnya sambil terus memgangi rambut-rambut ekor sapi.
"Yang membuat saya lega adalah ternyata bahan dari reyog ini bukan dari hewan hidup, hewan yang dilindungi seperti cerita yang berkembang, ternyata bulu meraknya impor dan itupun dari bulu merak yang sudah rontok, begitu pula kulit harimaunya ternyata kulit sapi yang dibuat sedemikian rupa." katanya lebih jelas lagi.
Perlu diketahui pak sarju ini bukan satu-satunya pengrajin reyog di Ponorogo, masih ada puluhan pengrajin lain yang mengalami kendala serta tantangan yang sama yaitu dengan perlindungan satwa yang hampir punah.
Menurut pak Sarju permintaan menjelang festival seprti ini meningkat, dalam satu stel reyog (dua dadag merak kompilt dengan kepala) bisa dia penuhi dalam 2 bulan. Permintaan kali ini dari daerah Sumatra dan Kalimantan. Semakin sulitnya mendapat bulu merak semakin mahal pula harga yang diberikan. Cinta terhadap seni tak menghalangi para pecinta seni untuk menebusnya, kata pak Sarju.
Â
"Selamat datang Di Ponorogo Kota Budaya, Selamat datang di Bumi Wengker"
Â
*) salam budaya
*) salam kampret
*) salam njepret