Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengoleksi Pusaka Sama Halnya Menyelamatkan Warisan Budaya

9 Oktober 2015   12:02 Diperbarui: 10 Oktober 2015   05:18 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 9 Oktober 2015

Bagi orang yang suka atau cinta sesuatu, materi tidak bisa menjadi ukuran, berapapun harganya, seberapa mahalnya pasti dia akan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara. Hal itulah yang diungkapkan pak Kenit salah satu kolektor pusaka. Bagi dirinya merupakan pantangan mengistilahkan jual beli barang pusaka barang warisan budaya, dalam kalangannya sesama kolektor mengistilahkan 'mas kawin', mas kawin ini tidak ada patokannya bagi siapa yang menyukai atau membutuhkan pasti dibayar asalkan ada yang melepaskan, jelasnya. 

Mereka juga tidak boleh menyebut memiliki barang-barang pusaka tersebut meskipun sejatinya itu merupakan koleksinya. "Kulo namung kedunungan mas...." kata pak Kenit, dia cuma kebetulan ketempatan.

Memiliki berarti menguasai dan terkesan ada riak atau kesombongan sehingga merasa ber-hak. Mereka menganggap barang pusaka adalah barang resik (bersih) barang warisan para leluhur yang diperoleh dengan segala perjuangan luar biasa, tirakat dan menyucikan diri. Mereka menganggap kolektor atau pemilik adalah wadah atau tempat.

"Barang-barang resik tersebut tidak bakalan mau menempati wadah yang kotor, barang bersih harus ditempat yang bersih, barang kotor tempatnya ya ditempat kotor." kata pak Kenit. 

Pak Kenit yang tergabung dalam Paguyuban Tunggul Nogo mengikuti pameran dalam rangka menyambut Grebeg Suro yang diadakan di pendopo agung kabupaten Ponorogo, dia tidak mau diistilahkan pameran dan lagi-lagi dia takut disebut sombong, dia ingin orang lain bisa menikmati dengan melihat barang-barang bersejarah yang menjadi koleksinya. Karena sudah jarang sekali orang jaman sekarang yang peduli dan mau merawat barang pusaka dengan berbagai alasan.

Ratusan jenis pusaka yang dipamerkan di tempat ini umumnya berupa keris, pedang, dan senjata perang jaman dahulu. Umur benda-benda pusaka tersebut sudah sangat tua sudah ratusan tahun, mulai jaman kerajaan Hindu di Indonesia sampai jaman kejayaan Islam di Nusantara. Setiap pusaka mempunyai cerita, sejarah, serta pernah dipergunakan pada masa kejayaan era pusaka tersebut dibuat.

Seperti pusaka berupa pedang yang dipegang pak Kenit dibawah ini, adalah pusaka jaman kerajaan Demak, pusaka ini namanya "Rajah Rojo" di dalamnya terdapat ukiran pada pedang berupa tulisan Arab (rajah Arab), yang menceritakan sejarang Islam mulai Nabi Muhammad, para sahabat, para wali, sampai Islam masuk Nusantara. Sudah berkali-kali orang melamar untuk mengoleksi namun dia enggan melepaskan. Kalau ditaksir harga pusaka ini ratusan juta rupiah katanya, karena diantara penawar pernah mengajukan mas kawin 500 juta rupiah.

Pameran ini tak hanya dikuti kolektor tuan rumah, beberapa kolektor dari Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Bandung, Kutai Taruma Negara, Sulawesi, dan Bali. Pengunjung bisa melihat dari dekat koleksi-koleksi dari pelosok nusantara, karena banyak koleksi berasal dari daerah lain meski para kolektor bukan berasal dari daerah asal pusaka tersebut dibuat.

Di pendopo ini juga digelar bursa barang pusaka, banyak kolektor dan peng-hoby barang pusaka akan hadir, entah namanya bursa atau lelang namun intinya mereka melepas dan menerima barang-barang tersebut. Tempat bursa ditempatkan di bagian tengah pendopo, sedangkan gerai pameran berada di barat dan timur.

Ada yang sangat menarik perhatian saya di pameran ini yaitu gerai sisi barat, tampak lelaki berjaket kulit dengan logat bicara yang cepat dan kegok, dia mengaku bernama Gatot. Gerai ini milik kolektor dari Kutai Taruma Negara, koleksinya lumayan banyak, benda-benda pusaka ini rata-rata berasal dari peninggalan kerajaan Kutai mulai jaman Kutai Hindu sampai Kutai jaman Islam. Dia datang bersama kedua saudaranya yang juga penyuka barang pusaka dan barang antik.

Mandau salah satu koleksinya, dia mengatakan usia mandau lumayan tua, mandau jaman kerajaan Kutai Hindu, mandau adalah senjata khas suku Dayak. "Jenis mandau seperti ini yang dalam cerita bisa terbang..." katanya sambil menunjuk dengan telunjuknya senjata yang mirip keris tapi tidak berliuk malah mirip belati tersebut.

Dia juga memperlihatkan baju kulit, baju khas suku dayak yang dipakai saat berperang, baju seperti ini dulu tidak tembus senjata alias kebal senjata, katanya.

Ada juga senjata koleksinya yang bentuk dan ukirannya perpaduan antara pusaka kerajaan di Jawa dan kerajaan di Kalimantan, ini pertanda kalau jaman pusaka dibuat sudah ada komunitas yang dihuni oleh kedua kerajaan tersebut, paling tidak sudah ada kerja sama baik sejara ekonomi ataupun budaya, jelasnya lagi.

Dia paling sayang pada senjata yang bentuknya mirip kujang (senjata khas Jawa Barat), gagangnya dilapisi emas, entah kadarnya berapa dia tidak tahu, yang dia tahu itu emas lama.

Dia datang ke pameran bukan untuk menjual atau melepas koleksinya, dia menagatakan kalau bisa malah ingin menambah dari bursa yang diadakan disini untuk menambah koleksinya.

Menurut Pak Gatot mengoleksi barang pusaka sama halnya menjaga warisan budaya, karena bila barang-barang seperti ini jatuh ke kolektor luar negeri sama halnya Indonesia kehilangan barang sejarah, kehilangan budaya, kehilang warisan leluhur, katanya.

Belum ada undang-undang khusus yang mengatur keluar masuknya senjata pusaka sering kali barang pusaka sering lepas ke kolektor manca negara, katanya. Berbeda dengan barang yang sudah masuk cagar budaya perlindunganya lebih ketat. Dia berharap pemerintah tanggap akan hal ini, karena tak mungkin dia terus mengoleksi barang barang tersebut karena keterbatasan dana. Barang-barang pusaka ini dia dapatkan dari lelang dan bursa, maksud dia mengoleksi dengan tujuan agar tidak lepas pada kolektor asing yang juga sama-sama memburunya.

Semoga dengan digelarnya pameran benda pusaka ini bisa membangkitkan kecintaan kita pada warisan budaya, mereka begitu peduli akan barang pusaka warisan leluhur tersebut. Sementara diluar kalangan mereka beredar anggapan musrik, syirik, menyekutukan. Itulah kenyataan yang harus dihadapi, semoga kita semua ikut peduli, begitu juga pemerintah terutama kementrian yang terkait. Barang-barang pusaka tersebut tentunya tak ternilai harganya. Kalau bukan kita siapa yang akan peduli?.

"Selamat datang di Ponorogo Bumi Wengker, Selamat datang di Kota budaya"

 

*) salam budaya
*) salam kampret
*) salam njepret

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun