Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alasan Mereka Membuang Pembalut dan Popok di Sungai

6 Oktober 2015   10:29 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 4875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul diatas sudah mengalami 4-5 kali perubahan, "Mengapa Para Wanita Membuang Pembalut Bekas Di Sungai?", "Alasan Mereka Membuang Pembalut dan Popok di Sungai", "Jenis Sampah Yang Dibuang di Sungai, dan Alasan Membuangnya", "Banyak Pembalut, BH, Pakain Dalam Bertebaran Di Sungai Sekayu,". Akhirnya dengan pertimbangan dan alasan tertentu saya lebih memilih "Alasan Mereka Membuang Pembalut dan Popok ke Sungai" sebagai judul.

Gambar di atas adalah gambaran sungai Sekayu tepatnya di ujung jl. Imam Bonjol Ponorogo, sungai ini sekitar 1 km dari alun-alun Ponorogo atau pusat kota. Sungai Sekayu ini sungai terbesar dan menjadi induknya sungai-sungai di kawasan Ponorogo, dari sungai kecil-sungai kecil menyatu dan mengalir ke sungai ini. Selanjutnya sungai ini menyatu dengan sungai di Madiun yang disebut bengawan Madiun, dari bengawan Madiun akhirnya menyatu dari aliran Bengawan Solo.

Sungai ini kalau musim kemarau kering seperti gamabar-gambar di tulisan ini dan hanya genangan air dari selokan perumahan warga sekitar. Namun kalau penghujan air seringkali meluap sampai atas jembatan.

Awalnya biasa saja, tak mengusik hasrat saya untuk memotret meski saban hari 4-10an kali melintasi jembatan ini. Berkali-kali tadi pagi saya perhatikan banyak pengendara motor melemparkan bungkusan berupa tas kresek ke sungai dari jembatan sambil melintas. Begitu juga beberapa mobil memperlambat jalannya dan membuka jenda kaca mobilnya dan lagi-lagi melempar bungkusan plasti ke dasar sungai. Sayapun meminggirkan motor dan segera menuju ke sungai, jalanan curam memaksa harus hati-hati, bau busuk menyengat meski masih dibibir sungai sebelah atas, berkali-kali tenggorokan seperti dikorek, rasa pengin muntah akibat bau busuk dari dalam sungai, dan akhirnya saya melepas kaos yang saya pakai yang saya fungsikan sebagai masker untuk menutup hidung dan mulut.

Sampah menumpuk dan berserakan dibawah jembatan, lalat dan hewan kecil-kecil lainya berpesta pora, mereka berterbangan ketika saya berusaha mendekat. Apa yang mereka kerumuni?

Tanpa saya harus membolak-balik sampah semua sudah nampak, kantong-kantong plastik yang berisi sampah, karung goni yang juga berisi sampah.

Dari keseluruhan kantong plastik atau karung pembungkus hampir 80% berisi pembalut wanita, popok disposible bayi, pakain dalam. Tempat ini mirip pasar pakain barus saja usai diterjang angin topan sehingga pakaian-pakaian dalam nya berterbangan kesana-kemari.

"Bruooooooooooook......" barang jatuh dari atas yang hampir menjatuhi saya. saya berusaha mendekat dan saya amati lagi-lagi berisi popok bayi dan pembalut wanita. Saya liat dari bawah seorang perempuan segera menyetater kembali motornya setelah membuang sampah dari pagar jembatan.

Baru saja perempuan tersebut berlalu tampak anak berbaju SMA melemparkan lagi kantong plastik dari atas, "Bruoooooook....." lagi-lagi hampir mengenai saya lagi. Tak jauh berbeda isinya pakain dalam seperti gambar di bawah dekat kaki saya. Pagi tadi mirip hujan, bukan hujan air namun hujan sampah, sampahnyanpun lucu hanya popok, pembalut wanita, dan pakaian dalam. 

"Mengapa Mereka Membuang Pembalut dan Popok di Sungai??" tanya saya saban ada barang jatuh dari atas jembatan.

Saya kembali naik ke atas, saya menunggu mereka yang membuang sampah. Tak lama kemudian ada anak seusia SMP lagi-lagi membuang sampah dan saya berusaha mengikutinya sambil berkendara di sampingnya yang sama-sama memakai motor.

"Dik kok mbuang sampahnya di sungai, kan di utara jembatan ada bak sampah?" tanya saya sambil berkendara.

"Oleh mama suruh buang di sungai Om...." jawabnya sambil berkendara juga.

"Sampah apa kok mama nyuruhnya harus dibuang ke sungai?" tanya saya lagi

"Pampers bekasnya adik sama pembalut bekas Om..." katanya sambil dia menghentikan motornya persis di depan bak sampah yang hanya berjarah 25-an meter dari jembatan, Dia ingin membuang sampah yang masih 1 bungkus lagi.

"Kalau yang ini sampah apa?" tanya saya penasaran lagi.

"Ini sampah dapur Om...., kalau sampah dapur mbuangnya suruh mbuang di tempat sampah, dan yang tadi suruh di sungai biar pantat adik bayi ndak panas, biar adik bayi ndak rewel kata mama....." jawabnya panjang.

Saya kembali ke dekat jembatan, beruntung saya bertemu dengan pak Sungkono dan dari bapak pemulung ini saya banyak mendapat penjelasan  "Alasan Mereka Membuang Pembalut dan Popok di Sungai".

Menurut Pak Sungkono, banyak warga yang percaya kalau barang daleman (pakaian dalam, barang dalam, dll) kalau dibakar pemiliknya akan sakit, kalau wanita katanya 'anu' nya akan terasa panas dan mudah terserang penyakit, begitu juga bayi yang popoknya atau kotorannya dibuang sembarangan (maksutnya di sampah umum) bayinya akan rewel, dan pembuangan di tempat bak sampah alur selanjutnya pasti dibakar di TPA. Menurutnya lagi kalau dibuang di air mereka berharap mendapat kesejukan karena air itu sifatnya sejuk dan dingin. Alasan lain lagi kalau didibuang ditempat sampah umum takut bekas pembalut atau popok bekas tersebut dikerubuti semut, ketakutan tersebut menurut pak Sungkono yang jadi alasan lain.

"La sungai ini kan kering kerontang, kalau dibuang disini kan sama saja di jemur pasti pantat si bayi dan anu si pemakai ikut kepanasen to pak" protes saya.

"Embuh mas, aku nggur tukang mulung sampah, iku cuma jarene wong wong sing saben ndino nguwang soft** nek kene...." jawab temen pak Sungkono, Dia ndak tahu lebih detail lasannya, dia hanya pemulung sampah, dia hanya dapat cerita dari wanita-wanita yang membuat pembalut di sungai ini. Soft** adalah merk pembalut yang sudah menjadi bahasa keseharian mereka. Pemulung ini saban hari mencari sampah di sekitar bak sampah dekat jembatan sehingga mereka hapal betul siapa saja dan apa saja sampah yang dibuang di sungai.

Sebenarnya pemerintah daerah tak kurang-kurang menyediakan bak sampah, tak jauh dari jembatan ini (25 meter) ada 2 bak sampah yang saban hari sampah-sampah tersebut diangkut truk-truk sampah milik pemda ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir. Budaya serta pemikiran yang keliru dari sebagian masyarakat sehingga mereka membuang sampah-sampah tertentu ke sungai, tanpa memikirkan dampak dan resiko yang ditimbulkan. Tentunya pemerintah daerah harus tegas tentang hal ini.

Sungai ini semakin kotor dan busuk karena saban hari ada 3-4 tangki tinja dari jasa sedot tinja yang membuang hasil sedotannya ke sungai ini juga. Nampak pipa-pipa paralon di dekat jembatan sebagai pipa sambungan dari mobil tangki. Genangan-genangan air di sungai ini ternyata air dari tangki tinja, kata pemulung yang saya temui tadi pagi.

Dimanakah para pembaca membuang pembalut bekas dan popok bekas? Tolong bantuannya agar warga sungai ini bisa mendapatkan pencerahan.

 

*) Salam Kampret
*) Salam Njepret
*) Salam Hijau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun