Kepala naga tersebut meliuk-liuk sulit dikendalikan meski 4 orang berusaha menaklukannya, salah seorang berusaha mendekat ke arah kepala, sementara tiga lainnya menarik tali yang sudah diikatkan pada leher naga tersebut, bukannya diam naga tersebut semakin liar seakan mau menelan 4 orang yang akan yang berusaha menaklukkannya, kepalanya yang sangar sebesar kepala reyog thik (kesnian jaran kepang), lidahnya menjalar-njalar, giginya tajam dan siap menerkam, sementara badannya memanjang hampir 200-an meter, sampai-sampai luas lapangan Mborang tak mampu menampungnya. Dan anak-anakpun berebut ingin mendekat melihat apa yang terjadi, bahkan para orang tuapun berjajar dipinggir lapangan, mungkin takut kena kabrukan sang naga. Maklum berpuluh tahun hidup di Ponorogo baru kali ini melihat sesuatu yang beda dari biasanya, layang-layang berbentuk naga yang besar dan panjang dengan warna yang indah luar biasa.
Selama ini di Ponorogo hanya layang-layang dari kertas minyak atau kertas gedok, dibikin seperti perisai dan lebih sering disebut layangan tanggalan (kertas bekas tanggalan/ kalender). Tidak ada perlombaan atau sejenis festival, dulu hanya sekedar suka disaat kemarau, disaat tanaman sudah dipanen, dan disaat angin Agustus datang. Jenis permainannya saling bertutan (diadu dengan benang yang dikasih bubukan kaca) saling ditautkan antar layang-layang yang diadu, siapa yang putus dia yang kalah, bahkan dulu sering dibumbui dengan perjudian mirip adu ayam jago.
Selain berlatih mereka ingin mengenalkan layang-layang hias jenis beginian di kota reyog, dan ingin mengenalkan reyog lewat layang-layang, ingi menceritakan bumi reyog lewat hobynya.
Menurutnya kelompoknya sedang medesain layang-layang dengan kepala harimau atau reyog yang dihiasai bulu merak sebagai ekornya, dia yakin konsepnya ini akan menarik perhatian juri atau penonton di festival, dan paling tidak bangga bisa mementaskan reyog dalam bentuk layang-layang. Menurutnya butuh dana banyak untuk hal tersebut, dan unuk mengakalinya dia bersama kelompoknya saling patungan agar terwujud impiannya.
Untuk jenis naga ini dia menghabiskan dana 3 juta untuk naga yang warna merah, dan 4 juta untuk naga yang hijau. Bahan dari kain parasit yang membuat pengeluaran paling banyak. Menurutnya mereka sendiri yang membuat desaian dan pengerjaannya, paling lama proses menjahitnya, karena harus satu persatu ruas demi ruas dan sekian panjangnya. Untuk satu layang-layang butuh waktu sekitar 2-4 bulan pengerjaan, dan tergantung kerumitan desainnya.
Sehingga di Ponorogo bisa muncul group group lain penghoby layang-layang, dan berharap desain dan modelnya mengangkat tema tentang ciri khas kesenian atau ikon pariwisata di Ponorogo. Untuk tema naga menurutnya karena bentuk naga unik, panjang, dan diilhami kesenian jaran kepang (jarang thik) jenis kensenian yang banyak di lestarikan di Ponorogo selain seni reyog dadag. Untuk kedepannya Ponorogo bisa menjadi tuan rumah festival layang layang baik tingkat regioanal maupun nasional.
Semoga cita-cita mas Fajar dan Gumelang bisa terwujud sehingga menambah kasanah budaya dan pariwisata di kotanya.
Â
*) salam njepret
*) salam kampret
*) salam budaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H