Awal peralihan dari
‘lelaki cantik’ ke
‘perempuan ganteng’ ini menui pro dan kontra, karena dianggap merupa pakem dari tarian reyog, sebagian lagi sebagai upaya untuk menghapus
‘gemblak’. Gemblak sering diartikan hubungan sejenis antara lelaki dengan lelaki, bedanya saja lelaki satunya lebih muda usianya. Ini dulu menjadi phenomena tersendiri di Ponorogo dan menjadi permasalahn tersendiri.
Peralihan tersebut lambat laun juga mengalami kendala dimana anak perempuan yang menjadi jathil obyog sempat dicap perempuan nakal, perempuan geleman (mauan), perempuan yang selalu dikelilingi para lelaki, dan riasannya-pun mulai berubah dari ‘perempuan ganteng’ menjadi ‘perempuan cantik’ seperti sekarang ini.
Mulai berkembangnya tarian reyog kolosal dan panggung sedikit demi sedikit mengangkat citra penari jathilan perempuan, mereka lebih terhormat menjadi penari sanggar, penari yang terlahir dan dibina oleh sanggar. Dukungan keluarga dan dari pemerintah daerahpun mereka dapatkan. Pemerintah Daerah Ponorogo pun semakin intensif membina para penari jathil ini mulai dari masa TK sampai perguruan tinggi, cara pementasanyapun mulai beralih dari
Obyog (jalanan) menjadi tarian kolosal (panggung).
Seni budaya terus berkembang menyesuiakan zaman, reyogpun mau tak mau kena dampaknya agar tak lekang oleh zaman.
Demikian cerita ‘lelaki cantik’ dan ‘perempuan ganteng’ versi saya, semoga bisa menjadi bahan cerita tentang pasang surutnya seni reyog di Indonesia.
“Salam Budaya’
*) terus njepret sebelum njepret dilarang
*) terus nulis sebelum nulis dilarang
*) terus hunting meski bini muring-muring
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya