Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Raden Martopuro Pahlawan Terlupakan, dan Cerita Hamil 7 Beruk

14 November 2015   11:26 Diperbarui: 14 November 2015   12:05 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini sudah berdiam di 'draf' hampir setahun, keraguan untuk melanjutkan karena data pendukung masih dirasa kurang. Rasa penasaran dari cerita mbah Misdi pedagang sepeda bekas di pasar loak (samping Taman Makam Pahlawan) Ponorogo. Mbah Misdi menceritakan awal mula mengapa para pahlawan dimakamkan di bersebelahan dengan pasar loak, orang Ponorogo menyebut Bon Rojo. Makam pahlawan ini dimulai pada tahun 1948-an setelah jaman merdeka, dulunya tempat ini berupa semak belukar berupa tanaman nanas hutan yang berduri. Diceritakan pula bahwa tengah tengah pagar nanas berduri ini ada kuburan sahabat karib yang dikubur setelah dihukum mati jaman Belanda. Mereka dihukum mati karena sehabis membunuh tuan asisten residen, mereka berdua dianggap membawa aib karena telah membunuh pejabat Belanda yang pangkatnya dia atas bupati dan dibawah gubernur waktu itu.

Semangat mengumpulkan rangkaian cerita semakin kuat ketika ada tarian pada hari jadi kemarin tentang cerita 'Meteng Pitung Mberuk" (Hamil 7 Beruk). Pada tarian tersebut dikisahkan para perempuan sedang bekerja di perkebunan kopi, dan kerja keras mereka seakan sia-sia karena hasil panenannya harus dijual ke pihak Belanda dengan harga yang sagat murah dibawah harga pasar, dan mereka mengakalinya dengan menyembunyikan kopi yang akan dijual di taruh didepan perut mirip orang hamil 7 bulan.

Lalu siapa mereka?  Kepahlawanan apa yang mereka persebahkan pada negeri ini? Berikut ini ceritanya yang saya susun dari berbagai sumber, baik cerita orang sekitar TMP (Taman Makam Pahlawan), Pasar sepeda, kuburan Pelem Gurih Mangunsuman, kuburan Sembung Sumoroto, dan cerita Pak Yadi Kertosari, serta buku Babad Ponorogo karangan mbah Purwowijoyo.

Kisah Sahabat Karib Seperguruan

Raden Martopuro adalah bangsawan dari Ponorogo, ia masih keturunan Raden Katong (bupati ponorogo I), ia bersahabat dengan bekas berandalan yang bernama Nurkandam, mereka berdua satu perguruan.  Jaman muda ia nyuwito (ikut) Kanjeng Jimad Bupati Pacitan, selain mengabdi mereka berguru kepadanya. Sejak saat itu mereka berdua akan setia dalam keadaan suka dan duka. "Ngisor galeng nduwur galeng, mbeguru bareng mati yo bareng" janji mereka semasa muda. Yang artinya peribahasa tersebut, atas pematang bawah juga pematang, seneng susah selalu bersama, meski mati juga bersama.

Pada jaman perang Diponegoro mereka berdua disuruh bergabung ikut perang dan mengikuti Pangeran Diponegoro, kebetulan waktu itu Pangeran Diponegoro mengungsi sambil perang gerilya di daerah Nglorok Pacitan dan Baosan (pegunungan perbatasan Ponorogo-Pacitan). Sementara Ponorogo dikuasai oleh pemerintahan Belanda yang dipimpin oleh seorang asisten Residen. Menjelang berakhirnya perang Diponegoro mereka diberi pilihan oleh Pangeran Diponegoro ketika mencapai perbatasan Gupernemen (batas wilayah pemeritahan Kasunanan dengan wilayah yang dikuasai pemerintah Belanda). Mereka boleh terus ikut ke jawa Tengah atau kembali ke daerahnya masing-masing. Raden Martopuro memilih pulang ke Bungkal kerumah orangtuanya, sementara Nurkhandam kembali ke desanya di BandarAlim.

Ketika ayahnya meninggal Raden Martopuro menggantikan ayahnya menjadi Mantri Gudang Kopi di Bungkal, sampai menikah dan mempunyai anak.

Kisah Meteng Pitung Beruk

Pada wasa itu Belanda menggiatkan tanaman kopi, setiap warga harus menanam kopi dan harus menjualnya ke pemerintah Belanda dengan harga murah dibawah pasaran. Bila ada yang menjual ke selain pemerintahan Belanda mendapat hukuman. Orang-orang Belanda sering mengadakan razia (mukmenan) sering menggeledah para petani di jalan-jalan, barang siapa ketahuan menjual kopi dipasar langsung dibawa ke penjara daerah Ponorogo.

Mengetahui situasi tersebut istri Raden Martopuro mengajari para wanita dengan menaruh kopi di depan perut dibungkus kain mirip orang yang meteng pitung sasi (hamil 7 bulan). Karena pemasukan kopi dari daerah Bungkal terus menurun Belanda menjadi curiga, terutama ketika banyak orang yang mengaku hamil yang mengadakan perjalanan jauh. Tapi lagi-lagi razia gagal tidak mendapatkan apa-apa.

Ketika razia para centeng Belanda bertanya, "Meteng pirang wulan?" 

Ada perempuan yang salah ngomong, "Meteng pitung mberuk tuan...." 

Mendapat jawaban tersebut akhirnya perempuan-perempuan yang lewat dilucuti, dan ditemukan kopi yang dibungkus kain mirip orang yang hamil 7 bulan. Beruk adalah tempurung kelapa yang besar yang ukurannya setara dengan 1,5 liter. 7 beruk artinya 7x1,5 = 10,5 liter kopi.

Para perempuan tersebut dihajar oleh para pegawai Belanda sampai mengaku siapa yang mengajari, sehingga Raden Ayu Mantri (istri Raden Martopuro) ditangkap dan dihukum oleh para centeng Belanda. Raden Marto puro tidak terima istri dan warganya disakiti Belanda. Raden Martopuro ingin membalas mengajar para centeng tersebut namun dapat dicegah oleh para tetua.

Menjelang peringatan pergantian tahun (peringatan malam tahun baru) 31 Desember 1882 tuan asisten Residen Antonny Willem Viensem mengadakan peta pergantian tahun baru di pendopo, semua pegawai mulai berpangkat rendah sampai tinggi wajib menghadiri dengan berbaju Jawa beskap. Raden Martopuro-pun juga hadir.

Ketika pesta berakhir Raden Martopuro merayu kepada pegawai asisten untuk bisa menghadap tuan Asisten Residen, pesannya ia akan meminta maaf atas kejadian di gudang kopi Bungkal. 

Ketika itu tuan Asisten Residen sudah berganti pakaian tidur namun begitu ia mau bertemu dengan Raden Martopuro di Pendopo (ruang pertemuan depan). Tuan asisten Residen kurang waspada ketika mengulurkan tangan akan bersalaman dengan cepat Raden Martopuro menghunuskan kerisnya ke perut tuan asisten Residen. Sehabis membunuh tuan asisten residen Raden Martopuro masih membunuh pengawal dan pegawai asisten lalu melarikan diri. Malam itu juga Ponorogo geger pegawai Belanda setingkat wakil gubernur dibunuh pribumi, tentara Belanda dari Madiun dikerahkan untuk menangkap Raden Martopuro. Karena tidak berhasil menagkap maka anak, istri, serta ibu Raden Martopura di tangkap dan dijebloskan ke penjara. Pemerintahan Belanda mengadakan sanyembara barang siapa yang bisa menagkap Raden Martopuro hidup atau mati akan diberi imbalan. Bupati Ponorogo kala itu juga bingung dan kena getahnya karena warganya ada yang berani membunuh pejabat tingi Belanda. Bupati Ponorogo kalau itu Raden Martonegoro mencari wangsit di makam Raden Katong dan mendapatkan petunuk bahwa hanya saudara seperguruannya yang tahu tempat dan kelemahan Raden Martpuro yang tak lain Nurkandam. Seperti  buah simala kama bagi Nurkandam, namun demi meyelamatkan anak, istri, dan ibu Martopuro ia merayu Raden Martopuro untuk menyerah. Akhirnya Raden martopuro menyerah dan dijatuhi hukuman mati. Malam menjelang hukuman mati Nurhandam menemui Raden Martopuro di penjara, dan pada waktu pertemuan tersebut Raden Martopuro mencabut keris Nurhandam dan menghujamkan ke perutnya (bunuh diri) sehinga bersimbah darah, akhirnya Nurhandam ditangkap dianggap yang membunuh Raden Martopuro. Mayat Raden Martopuro dikubur di dekat sampah belakang kantor asisten residen. Nurhandam paginya dihukum mati oleh Belanda didepan masyarakat dan mayatnya juga dikubur dibelakang kantor asisten residen. Rupanya Raden Martopuro hanya pingsan dan malam itu juga ia bisa berjalan merankak sampai perbatasan Kerosari-Mangunsuman yang disebut daerah Pelem Gurih, disitu Raden Martopuro sempat menceritakacerita yang sebenarnya n pada warga yang ditemuinya. Setelah selesai bercerita Raden Martopuro menghembuskan nafas yang terakhir kali dan dikuburkan oleh warga sekitar Pelem Gurih.

Kejadian kematian tuan Asisten Residen Belanda, Raden Martopuro dan Nurkandam diatas merupakan aib bagi Ponorogo siapa saja dilarang menceritakan.  Belanda malu, pemerintahan Ponorogo juga malu, siapa saja yang kedapatan mempergunjingkan mendapat hukuman. Begitu juga kuburan Nurkhandam yang dibelakang kantor asisten residen tidak boleh dikunjungi siapa saja, dan dipagari oleh nanas hutan agar tidak bisa dimasuki, pencari rumputpun dihukum bila merumput di dearah tersebut. Banyak orang yang masih mengira kuburan raden Martopuro di dekan kuburan Nurkandam saudara seperguruannya. Oleh tuan Asisten Residen yang baru lokasi tersebut diberi kawat berduri dan diatas kuburan Nurkandam dibtanami pohon sono. Dan dipagari mirip gapura cina yang hanya bisa dilewati dari kantor asisten residen. Taman tersebut dinamakan taman Adiwarno namun masyarakat lebih sering menyebutnya Kebon Rojo sampai sekarang.

Banyak orang yang mengira kalau Nurkandam berkhianat pada Raden Martopuro dengan mengharap hadiah dari Belanda.

Setelah Indonesia merdeka kantor asisten residen dijadikan markas tentara. Atas gagasan kepala penerangan kabupaten Ponorogo Rasad Siswosanyoto tempat digunakan untuk mengubur prajurit atau tentara yang gugur pada jaman agresi dan peristiwa kurban PKI tahun 1948. 

Di daerah kuburan Pelem Gurih (Mangunsuman) belakang bak sampah, banyak yang tidak mengenal kuburan Raden Martopuro, berkali-kali tanya mereka tidak tahu. Beruntung kemarin bertemu dengan pak Supri pedagang pasir yang tempat jualannya bersebelahan dengan makam Pelem Gurih.

Namun pak Supri juga tidak mengenal Raden Martopuro, ketika diceritakan tentang sejarah yang saya tulis diatas pak Supri baru teriingat ada kuburan "Mbah Mantri" dipojok timur yang diberi kotak, nisan aslinya sudah diganti. Kata pak Supri banyak peziarah dari Solo, Jogja dan Sragen yang menziarahinya. Namun warga sekitar tidak tahu siapa yang terkubur disitu. Untuk lebih jelasnya saya di antarkan ke kakak pak Supri yang bernama pak Pono.

Pak Pono menceritakan kuburan tersbut adalah kuburan mbah Mantri, seorang manti kopi jaman penjajahan belanda yang mati akibat penghianatan temannya. Menurutnya lagi kuburan tersebut ramai menjelang pergantian tahun baru masei dan menjelang puasa Ramadhan, para peziarah menurutnya dari Jawa Tengah seperti kata adiknya pak Supri. Begitu kejamnya suatu rezim sehingga kini cerita kesimpang siuran tersebut masih terjadi, juga pinternya penjajah dalam mengadu domba.

Sementara orang Bungkal sekitar gudang kopi juga mencari jejak pahlawannya, orang Bungkal menyebut "Ndoro Mantri". Begitu juga kebanyakan orang di sekitar pasar sepeda (pasar loak) "Raden Martopuro" adalah pahlawan yang pertama darahnya tertumpah di makam pahlawan Bon Rojo ini meski jasadnya tidak dikebumikan di taman makam pahlawan. Menurut cerita para pedagang sepeda  pada waktu pemugaran pagar hanya ditemukan satu kerangka dibawah pohon sono, dan mereka meyakini hanya Nurkandam yang jasadnya dikubur di bawah pohon ini, sehingga mereka yakin yang di kubur di Pelem Gurih adalah jasad Raden Martopuro.

 Semoga tulisan ini bisa disempurnakan oleh pembaca lainnya, sehingga didapatkan cerita yang sebenarnya, semoga pemerintah kabupaten Ponorogo mendapatkan masukan tentang hal ini, dan mohon maaf bila ada yang tidak pas dalam cerita ini. Tapi begitulah sejarah tergantung pada rezim dimana rezim tersebut berkuasa.

"Selamat Hari Pahlawan"

 

*) salam njepret
*) salam koteka
*) salam blusukan

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun