Ponorogo, 1 Agustus 2015
Suara tetembangan mengalun ditengah sepi dan dinginnya malam, maklum jam sudah menujukan jam 23:15. Tetembangan tersebut halus nadanya lembut tanpa sentakan, suaranya merdu dan sesekali mirip paduan suara, sayup-sayupnya mirip tembang cokek-an tembang pesisiran hanya saja kali ini lembut melebihi lembutnya tembang keroncong. Diiringi suara gamelan mirip gamelan jawa, namun bila dicermati gamelan tersebut juga lebih halus tanpa kleningan, mirip suara kotekan bambu ketika menjelang sahur atau angklung pada paduan suara, namun lagi-lagi halus dan berirama pelan mirip kecapi.
Suara tersebut berasal dari Pringgitan, rumah dinas bupati Ponorogo tepatnya ruang pertemuan yang terbuka dihalaman belakang. Setelah meminta ijin pada penjaga (regu satpol pp) saya memberanikan masuk dan bergabung meski saya berada diluar lingkaran. Tampak puluhan orang (mungkin sekitar 80-an orang) yang rata-rata berusia diatas 60 tahun, mereka berpakain adat Ponoragan lengkap dengan blangkon atau ikat kepala, sementara ada yang berbaju puih baju koko, setelah saya amati beliau adalah bupati dan kepala dinas pariwisata. Lalu saya berjongkok sambil menganggukan kepala, isyarat untuk mohon ijin untuk memotret dan bergabung, maklum semua sedang duduk membuat lingkaran besar dan berpakain rapi, sementara saya memakai jaket yang tidak saya lepas karena kebetulan saya memakai jeans dan tishert sehingga lebih tidak sopan bila jaket jeans saya lepas. Bupati dan kepala dinas membalas anggukan saya, begitu juga yang lainnya yang melihat kedatangan saya, sambil berjalan bertumpu pada lutut saya beranjak ke tengah lingkaran, dan sayapun terus menjepret dengan hati-hati menjaga kesopanan, beruntung tadi malam saya diberi kesempatan sehingga peristiwa langka ini bisa saya abadikan.
Kepala dinas pariwisata dalam sambutan singkatnya, juga mengapresiasi seni lokal yang sudah langka ini, dan berusaha memfasilitasi agar bisa dinikmati oleh semua kalayak baik orang Ponorogo maupun luar Ponorogo.
Pak Maryono, tetua orang kebudayaan di Ponorogo menyatakan ini adalah pagelaran macapat kali ke-3 dalam memperingati hari jadi Ponorogo, bersama para penggemar macapat menginventarisasi dari kecamatan satu ke kecamatan lainnya sehingga bisa terbentuk wadah macapat ini di setingkat kabupaten, sehingga pengelolaan dan pembinaanya bisa lebih serius dipantau. ”Ada banyak ajaran dari tembang yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, tentang perilaku kita di masyarakat,” imbuhnya.
Dhandhang Gulo
Niyatingsun arsa hamiwiti
Sarasehan kidungan macapat
Den udi murih manise
Allah kang maha agung
Maha rahman lan maha rahim
Mugi ngijabahana
hajad amba sagung
Ngleluri budaya jawa
Sastrajendra hayuningrat wus cumawis
Hanjog maring hakekat
Dan setelah tembang pembuka dilanjutkan tembang Ilir-ilir gubahan Sunan Kalijogo, dan selanjutnya diartikan makna tembang Ilir-ilir tersebut, yang merupakan petuah maupun nasehat yang luar biasa tentang beragama, bermasyrakat dan bernegara.
Selanjutnya tembang ditembangkan bergiliran, berkeliling ke arah kanan penembang pertama. Meskipun usia mereka tua namun semnagatnya luar biasaya, mungkin karena faktor suka pada seni macapat sebelumnya. Setiap orang mendapat giliran, begitu juga bupati maupun kepala dinas yang berada dalam lingkaran, tembang-tembang tersebut sudah disipakan dalam bentuk buku srib yang dibagikan ketika acara dimulai, dalam buku tersebut ada beberapa tembang diantaranya dhandang gula, mijil, kinanthi,sinom, asmaradana, dan pangkur. Yang telah digubah sesuai pakem tembang masing-masing, meski sair berganti-ganti namun cara menembangkannya tetap sesaui pakem tembang, yang tiap tembang tersebut mempunyai kosa kata terakir berkahiran sama dengan pakem setiap tembang.
Sair-sair tersebut sudah disiapkan oleh paguyuban macapat yang diberi judul "Pakarti luhur wedahring nur kang wening, kidung dumadine Ponorogo", yang menceritakan babad Ponorogo mulai datangnya Raden Katong di Ponorogo sampai terbentuknya kabupaten Ponorogo. Sair-sair tersebut berasal dari kata-kata serat Babad Ponorogo Bathoro katong, dari buku karangan Purwowidjoyo dan serat Babad Patah Panembahan Jimbun.
Tembang-tembang dimulai peristiwa kekacauan di Majapahit, perintah Raden Patah kepada Raden Katong untuk memadamkan pemberontakan Ki Ageng Kutu di ponorogo, sampai keberhasilan raden Katong sampai dianugerahi penghargaan menjadi bupati pertama di Ponorogo. Berikut sebagian sair tersebut;
Sinom
Raden katong pinaringan
Pangkat dadi adipati
Seloaji pinaringan
Pangkat minangka patih
Mirah dipunparingi
Pangkat ninagka pengulu
Dene wewengkoniro
Kawasan kang wus den titi
Lawu-Wilis mengidul pantog segoro
Tembang yang berasal dari Serat Raden Patah tersebut bearti, Raden Katong dianugerahi pangkat adipati, Seolaji dianugerahi pangkat patih, Ki ageng Mirah dianugerahi pangkat kepala urusan agama, sedangkat wilyah barat dan utara mulai perbatasan gunung Lawu, timur gunung Wilis, sampai laut selatan.
Ketika saya mendekat dan tanya gong gumbeng ini ada sejak belum adanya reyog, belum adanya kabupaten Ponorogo. Menurut sejarahnya ini adalah cara para leluhurnya yang mengalami keterbatasan dana atau situasi pada jaman intu sehingga membuat alat musik yang hasil suaranya mirip dengan gamelan yang ada pada era itu. Sungguh kreatif nenek moyang mereka.
Mereka bangga seni yang selama ini menjadi samben (sampingan) mendapat apresiasi dari pemeritah, apalagi diminta tampil mengiringi macapat di Pringgitan yang terkenal sakral dan dihadapan para pejabat Ponorogo, mereka juga bangga bisa ikut meramaikan hari jadi Ponorogo yang ke 519. Yang sedianya akan dibuka pada hari Minggu ini (2 Agustus 2015), dengan penampilan reyog kolosal (reyog masal), terdiri hampir 260-an dadag merag (reyog dadag) pada jam 15 nanti (nantikan liputanya).
"Selamat Hari Jadi Ponorogo ke 519"
*) selamat datang di Ponorogo
*) salam wisata
*) salam kampret
*) salam jalan-jalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H